Iman secara bahasa berarti percaya. Namun para ulama membuat terminologi bahwa yang dimaksud iman adalah: berkeyakinan dalam hati, diucapkan secara lisan, dan diaplikasikan dengan nyata. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan keimanan di sini adalah keimanan yang konsisten (tasdiqan jaziman) terhadap semua yang diwahyukan Allah, baik akidah, ibadah, akhlak dan semua hal yang 'maklum' dalam agama.

     

    IMAN YANG MEMBAWA KE SURGA

     

    Ketika Rasulullah saw bertanya tentang hakekat iman, Jibril alahissalam menjawab: iman adalah kamu percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Akhir, dan qada/qadar yang baik ataupun yang buruk.
    Alquran lebih jauh memerinci apa yang wajib diimani. Allah swt berfirman: Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya" (QS. 02:85).
    Untuk membuktikan kebenaran beriman atau tidak seseorang, maka pengucapan secara lisan itu harus dibarengi dengan keyakinan di dalam hatinya serta dinyatakan dengan arkan (rukun-rukun). Kalau ini terbukti ada pribadi seseorang maka orang tersebut dinyatakan sebagai orang beriman (mu'min).
    Al-Quran menafikan orang-orang yang menyatakan beriman di mulut saja sementara hatinya ingkar. (QS. 02:08). Al-Quran juga menyatakan tentang perilaku orang-orang Badui. Dalam al-Quran Allah swt berfirman: Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. (QS. 49:14).
    Benar bahwasanya sesuatu yang kasat mata dan pengucapan lewat lisan sudahlah cukup untuk meyakinkan manusia. Ini tentunya hanya berlaku di dunia, adapaun di Akherat tentu tidak semudah itu, maka pengucapan lisan wajib disertakan keyakinan yang mantap dalam hati disamping diaplikasikan dengan pelaksanaan ibadah dengan anggota badan (aljawarih). Ibadah itu termasuk "ibadah mahdhoh" (sholat, zakat, puasa, haji dsb) maupun "ibadah ghair-mahdhoh" (tolong menolong, berbuat baik terhadap sesama, memberi santunan, dll).
    Iman yang benar kepada Allah swt berdampak positif pada kehidupan manusia dan kepada hidayahnya sendiri. Hal ini ditegaskan dalam al-Quran: "…dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya". (QS. 64:11).
    Orang-orang yang beriman kepada Allah sudah cukup membawa pemeluknya ke dalam Surga yang dijanjikan, kendatipun dirinya bergelimang dengan maksiat. "Tiadalah seorang hamba yang berkata Tidak ada tuhan selain Allah kemudian ia mati atas (keyakinannya) itu, melainkan ia masuk Surga", begitu sabda Rasulullah SAW. Kemudian sahabat, Abu Zar Algiffari, bertanya: "kalau ia berzina dan mencuri?" Jawab Rasulullah, "sekalipun ia berzina, sekalipun ia mencuri".
    Tetapi ini bukan pembenaran bagi mereka yang suka melakukan maksiat untuk terus melakukan aksinya, melainkan agar mereka bersegera bertaubat kepada Allah swt dan jangan berputus asa dari rahmat Allah. Wallahu a'lam.[]

    Penulis aktif berpartisipasi di: http://religiusta.multiply.com/journal/item/21

     10 NASEHAT HASAN AL-BANNA 

    Taufik Munir
       

    1. Dirikanlah sholat saat engkau setiapkali mendengar azan, dalam keadaan apapun.
    2. Bacalah al-Quran, telaah isinya, dengarkan, dan berzikirlah kepada Allah. Jangan gunakan sebagian waktumu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
    3. Bersungguh-sungguhlah untuk berbicara bahasa Arab fusha'. Karena itu termasuk syiar Islam.
    4. Jangan banyak berdebat dalam hal apapun, karena bersikap hipokrit tidak akan pernah mendatangkan kebaikan.
    5. Jangan banyak tertawa, karena hati yang maushul kepada Allah adalah hati yang tenang dan stabil.
    6. Jangan bercanda, karena umat yang bersungguh-sungguh tidak mengenal apapun selain kesungguhan.
    7. Jangan keraskan suaramu melebihi yang dibutuhkan pendengar, karena hanya akan mengakibatkan serampangan dan menyakitkan (orang lain).
    8. Jauhi menggunjing orang lain dan melukai perilaku orang, dan janganlah berbicara kecuali yang baik.
    9. Lakukanlah 'ta'aruf' (perkenalan) dengan saudara-saudara yang engkau temui meskipun, mereka tidak menuntutmu demikian. Sesungguhnya pondasi dakwah kita adalah cinta dan saling mengenal.
    10. Kewajiban kita lebih banyak daripada waktu yang tersedia. Maka bantulah orang lain untuk memanfaatkan waktunya. Kalau engkau punya keperluan, maka segeralah tunaikan kebutuhannya. []

    Sumber: http://religiusta.multiply.com/journal/item/30


Top