,

    Setiap orang bangga dengan kehormatannya. Dia akan merasa muak dan tidak puas jika kehormatannya diusik, diejek atau dihina. Motif segala fenomena menyepelekan orang lain bisa berupa kekuasan yang tiran atau juga adanya dominasi  sifat dzalim dalam diri, bisa juga akibat rasa takabbur dan lebih unggul dari manusia lain.

     

    Menghina orang lain bisa menimbulkan reaksi saling ejek dan saling hina lagi, serta menumbuhkan keinginan untuk melampiaskan dendamnya saat kesempatan itu ada juga dengan hinaan lagi.

     

    Bentuk-bentuk penghinaan itu antara lain: menjuluki orang lain dengan julukan yang jelek, mengumpat, mencela dan mencaci orang lain. Allah berfirman: "Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela." (QS. Al Humazah: 1) Atau adzab dan lembah jahannam akan diberikan kepada siapa yang mencaci aib seseorang.

     

    Allah swt telah menjaga kehormatan setiap manusia. Dalam al Qur'an Dia berfirman: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam." (QS. Al Isra: 70)

     Allah juga melarang mengolok-olok orang lain, Dia berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-ngolokkan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-ngolokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk." (QS. AL Hujuraat: 11)

     Atau satu masyarakat tidak boleh mengolok-olok masyarakat lain karena bisa jadi yang diolok-olok lebih baik dari yang mengolok-olok.

     

    Sunnah dan hadits Nabi juga telah menjelaskan dan menegaskan apa yag disinyalir oleh al Qur'an. Di antaranya apa yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwa rasulullah saw telah bersabda: "Seseorang dianggap memiliki benih kejahatan dengan hanya menghina saudaranya yang muslim." Atau, seseorang cukup dikatakan penjahat jika dia telah menghina saudaranya muslim, bahkan non-muslim sekalipun, karena mereka semua merupakan makhluk Allah ta'ala.

    Motif menghina yang paling penting biasanya adalah rasa takabbur, seperti yang diriwayatkan Muslim dari Ibn Mas'ud ra, bahwa Rasulullullah saw bersabda: "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau sebesar biji jagung." Seorang laki-laki bertanya: bagaimana jika seseorang ingin pakaiannya indah dan sendalnya juga bagus? Lalu beliau menjawab: (Allah itu indah dan mencinta keindahan, sementara kesombongan dapat memotong hak dan menghina manusia." Atau bahwa memperindah penampilan, pakaian dan sepatu serta bentuk bukan merupakan kesombongan. Tapi kesombongan yang tercela adalah yang termasuk dosa besar, yaitu menghina manusia dan meninggalkan dan memasung hak. Siapa yang mengerjakan kebatilan dan meremehkan seruan hak dan kekuasaannya, maka dialah orang sombong yang balasannya adalah neraka serta dilarang masuk surga.

     

    Sombong dan merasa besar hanyalah sifat milik Allah semata. Karena Dialah pemilik segala kekuasaan yang mutlak, kehendak yang terlaksana, dan keinginan yang universal. Dialah yang memiliki sifat rahmat yang maha luas dan sebaik-baik pengampun dosa hambaNya.

     

    Muslim meriwayatkan dari Jundub bin Abdullah ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Seorang laki-laki ada yang berkata: 'Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si fulan'. Lalu Allah berkata: 'Siapa yang bersumpah demi aku ini? Tidakkah aku selalu memaafkan si fulan? Sesungguhnya aku telah mengampuninya, dan aku telah membatalkan pahala amalmu!'."

     

    Dalam hadits ini mengandung betapa besar karunia, rahmat dan ampunanNya untuk hambaNya. Hadits juga mengandung ancaman bagi orang yang menghina seorang muslim dan lainnya serta perlunya menghindari vonis tertentu kepada orang lain. Pekerjaan ini hanya khusus hak Allah. Di luar ketentuan tersebut pekerjaan ini dianggap bertentangan dengan etika Allah dan melampaui batasNya.

     

    Allah juga mengharamkan mencemooh orang lain jika orang itu terkena musibah, bencana, atau kesulitan financial. Berdasarkan firmanNya: "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara." (QS. Al Hujuraat: 10). Juga firmanNya: "Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat." (QS. An Nuur: 19)

     

    Mencemooh adalah bentuk lain dari penghinaan yang bertentangan dengan prinsip ukhuwwah imaniah yang mengandung ketentuan bahwa seorang mukmin mesti ikut merasakan kesakitan dan kebahagiaan saudara mukmin lainnya. Di samping hal itu juga bertentangan dengan haramnya kehormatan manusia, seperti yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah: "Setiap muslim diharamkan atasnya seorang muslim lain dalam hal: darahnya, hartanya dan kehormatannya."

     

    Balasan bagi orang-orang yang mencemooh orang lain adalah akan diberikan kepadanya bala. Sementara bagi orang yang dicela akan tetap dijaga kesehatannya oleh Allah.

     

    Tirmidzi meriwayatkan –hadits hasan—dari Watsilah bin al Asqa' ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Jangan engkau cemooh saudaramu, karena Allah akan memberi rahmat baginya dan akan memberi bala kepadamu." Atau sanksi orang yang mencemooh di dunia berupa musibah yang akan berpindah kepadanya, sementara yang dicela akan terbebas dari hinaan dan diberikan rahmat oleh Allah ta'ala. (Taufik Munir)

    Seorang muslim sejatinya harus selalu sadar dengan apa yang dilihatnya sehingga bisa teliti dalam menyampaikan segala macam berita. Dia mesti selalu melakukan check dan re-check dalam menceritakan riwayat dan menyampaikan kabar berita, jauh dari isu dan desas-desus yang beredar di kalangan manusia.

     

    Dia juga dituntut untuk selalu jujur dalam bertutur dan dalam menyampaikan segala hal kepada orang lain, sehingga tidak mengisi benak dan otak orang-orang dengan perkataan-perkataan bohong dan tidak konsisten. Allah swt berfirman: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al Israa: 36)

    Atau, jangan engkau ikuti hal-hal yang tidak sama sekali memiliki bukti-bukti konkret dan ilmiah.

     

    Allah juga berfirman: "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaaf: 18)

     

    Al Qur'an telah menegaskan dengan keras tentang prinsip check dan re-check dalam menyampaikan berita, juga mengajarkan agar tidak segera mempercayai setiap isu yang diucapkan orang dan didengarnya. Allah swt berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. Al Hujuraat: 6)

     

    Banyak hadits-hadits Nabi yang juga menyatakan makna yang sama. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: "Seseorang sudah cukup dikatakan bohong dengan hanya mengatakan langsung hal-hal yang didengarnya."

     

    Hadits ini seperti halnya ayat-ayat al Qur'an di atas menunjukkan dilarangnya menyampaikan secara langsung segala hal yang didengar seseorang, karena bisa saja dia mendengar hal yang benar atau bisa juga bohong. Jika dia melakukan hal tersebut maka sudah bisa dikategorikan berbohong, karena dia telah memberitakan sesuatu yang belum tentu terjadi.

     

    Hadits lain menegaskan makna yang sama. Muslim meriwayatkan dari Samarah bin Jundub ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa meriwayatkan satu perkataan dari aku padahal itu bohong (bukan dari aku), maka dia termasuk orang-orang yang bohong."

    Dengan kata lain, meriwayatkan satu perkataan bohong bisa membuat sang perawi digolongkan sebagai pembohong. Ini bukti bahwa sifat bohong diberikan kepada siapa saja yang membuat kebohongan, juga kepada orang yang ikut menceritakan kebohongan itu lagi kepada manusia. Maka bagi seorang muslim seharusnya mengecek terlebih dahulu kebenaran sebuah berita sebelum menyampaikannya lagi kepada orang lain.

     

    Kebohongan bisa terjadi dengan berpura-pura akan sesuatu yang tidak pada hakikatnya. Karena hal itu merupakan kepalsuan dan kebohongan.

    Dalam hadits muttafaq alaih diriwayatkan dari Asma binti Abu Bakar ra, bahwa seorang perempuan berkata: "Wahai Rasulullah, aku memiliki madu[1], apakah berdosa jika aku berpura-pura puas dengan apa yang sebenarnya tidak diberikan suamiku? Lalu Nabi saw menjawab: 'Orang yang berpura-pura puas dengan apa yang tidak diberikan kepadanya seperti orang yang mengenakan pakaian kepalsuan'."

     

    Maksud dari kalimat 'Aku berpura-pura puas dengan apa yang sebenarnya tidak diberikan suamiku' di sini adalah, seseorang yang menganggap dirinya mendapat fadhilah (kemuliaan) padahal kemuliaan itu tidak ada padanya. Nabi saw sendiri menganggap berpura-pura dengan hal yang tidak sebenarnya sebagai kepalsuan dan kebohongan, dan mengumpamakannya dengan orang yang memakai pakaian kepalsuan. Inilah orang yang bersikap palsu terhadap manusia. Seperti halnya orang yang berpakaian dengan pakaian zuhud, alim dan berpura-pura kaya, supaya orang lain iri padanya, padahal dia tidak demikian adanya.

     

    Hadits tadi menyatakan bahwa kepura-puraan seseorang dengan hal yang tidak ada pada dirinya bisa membuat dia dicap sebagai pembohong. Fenomena seperti ini banyak terjadi di zaman kita sekarang ini, baik di kalangan laki-laki maupun perempuan. Kepura-puraan ini dilakukan untuk menampakkan kemuliaan dan kedudukannya sehingga orang itu dianggap berasal dari golongan lapisan atas. Padahal kondisinya bertentangan dengan kenyataan sebenarnya.

     

    Oleh karena itu Islam melalui hadits ini menyuruh supaya ada kesesuaian antara lahir dan batin, penampilan dengan kenyataan, supaya tidak ada penipuan dan kebohongan. Allah swt sendiri telah mengharamkan berbohong dalam kesaksian dan lain sebagainya.

     

    Allah swt berfirman: "Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta." (QS. Al Hajj: 30). Atau perkataan bathil dan bohong.

    Dia juga berfirman: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya." (QS. Al Israa: 36)

    Dan Allah juga berfirman: "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaaf: 18).

    FirmanNya juga: "Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi." (QS. Al Fajr: 14) Atau Tuhanmu mengawasi semua pekerjaan manusia dan memberikan balasannya.

    Dalam menggambarkan salah seorang hambaNya, Allah swt berfirman: "Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya." (QS. Al Furqan: 72) Yaitu orang-orang yang tidak memberi kesaksian yang batil dan bohong.

     

    Kesaksian palsu seperti halnya sumpah perjury atau sumpah bohong yang dilakukan dengan disengaja merupakan salah satu dosa besar. Tidak dihalalkan bagi seorang muslim untuk memberikan kesaksian palsu atau bersumpah dengan sumpah perjury tadi walaupun dia benar atau ada maslahatnya, supaya hal itu tidak dijadikan sarana untuk suatu kejahatan dan kebatilan sehingga akan mendatangkan bahaya bagi orang lain.

     

    Dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Abu Bakar ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Maukah engkau aku beri tahu tentang dosa yang paling besar? Kami katakan: Ya, wahai Rasulullah! Kemudian beliau berkaa: Syirik kepada Allah dan melawan kedua orang tua. Tadinya beliau duduk bersandar kemudian duduk tegak[2]. Lalu melanjutkan lagi: Juga berkata bohong, dan memberi kesaksian palsu." Itulah yang beliau ulang-ulang, sampai kami berpikir kapan beliau berhenti.

     

    Atau bahwa ketiga perkara; syirik kepada Allah, melawan kedua orang tua, dan kesaksian palsu merupakan dosa besar yang paling besar, karena semuanya mengandung kerusakan dan bahaya parah di kalangan manusia, juga merupakan kejelekan dan aib berbahaya dalam masyarakat. (Taufik Munir)



    [1] Istri kedua suaminya.

    [2] Ini membuktikan pentingnya apa yang akan Rasulullah saw katakan.

    Kekuatan dan kelemahan, kesehatan dan sakit, masa muda dan tua dan sebagainya merupakan fenomena kehidupan manusia di alam semesta. Tidak ada satu kondisi yang berlangsung tetap tanpa kondisi lain. Ini merupakan hikmah ilahi yang sangat tinggi, sehingga segala sesuatu pasti ada lawannya. Dengan demikian manusia akan tetap terus berusaha menjaga keseimbangan dalam setiap kondisi dan situasi. Nikmat meniscayakan rasa syukur dan kelemahan menuntut adanya kesabaran. Manusia pun dituntut untuk menghargai kondisi semacam ini, sehingga orang kuat tidak menjadi sombong terhadap orang lemah. Orang sehat tidak boleh berbesar hati di hadapan orang sakit.

     

    Merasa rendah diri dalam setiap keadaan dianjurkan dan pelakunya akan mendapatkan pahala. Bahkan sifat ini sangat penting dan sesuai dengan kondisi orang yang tengah dilanda musibah semacam ini. Allah swt berfirman: "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka." (QS. Al Kahfi: 28)

     

    Maksudnya didiklah jiwa agar tetap bersabar dalam bergaul dengan orang-orang lemah pada setiap waktu dan keadaan. Dengan begitu mereka telah meminta keridhaan Allah. Tidak diperbolehkan mengabaikan orang-orang lemah dengan mengalihkan pandangan kepada orang lain.

     

    Sunah Nabi juga telah memberi kabar gembira bagi orang-orang lemah, yaitu surga. Hadits juga mengabarkan bahwa orang-orang lemah lebih dekat kepada Allah dibanding manusia lain dan surga merupakan tempat tinggal bagi orang-orang lemah, sementara neraka merupakan tempat bagi orang-orang yang sombong dan keras kepala.

     

    Bukhari dan Muslim dalam Kitab "Shahihain" meriwayatkan dari Haritsah bin Wahab ra, bahwa dia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: "Maukah engkau aku beritahu siapa ahli surga? Yaitu orang-orang yang teramat lemah, jika dia bersumpah maka dia Allah akan mewujudkannya, dan maukan engkau aku beritahu siapa ahli neraka? Mereka adalah orang-orang yang keras dan sombong."

     

    Hadits ini menunjukkan larangan untuk berlaku kasar, sombong dan angkuh dan menganjurkan untuk bersikap rendah diri di mata orang-orang mukmin.

     

    Dalam hadits muttafaq alaih lain diriwayatkan dari Abu al Abbas Sahal bin Sa'ad as Sa'idi ra, dia berkata: "Ada seorang laki-laki yang melewati Rasulullah saw, lalu Beliau berkata kepada orang yang sedang duduk dekat beliau: 'Bagaimana menurut engkau tentang orang ini?' Lalu dia menjawab: 'Orang itu termasuk manusia paling mulia, demi Allah orang ini layak jika dia meminang maka hendaknya langsung dinikahkan, dan jika memberi syafa'aat maka akan diterima'. Rasul pun diam. Kemudian seorang laki-laki lain melewati beliau lagi, lalu beliaupun bertanya: 'Bagaimana orang ini menurutmu?' Dia pun menjawab: 'Wahai rasulullah, ini orang muslim yang fakir, dia layak jika meminang untuk tidak dinikahkan, dan jika memberi syafa'at maka tidak diterima syafaatnya, dan jika dia berkata maka tidak perlu didengar ucapannya. Kemudian Rasulullah saw berkata lagi: 'Justru orang ini lebih baik di muka bumi seperti halnya yang tadi."

     

    Ini adalah perbandingan yang jelas antara tradisi kaum Jahiliah dan orang-orang materialistis pada zaman kita dengan tradisi ahlul iman dan orang-orang yang selalu beramal untuk akhirat dan dunia sekedarnya. Dari perbandingan ini terlihat bahwa yang dipandang dari seseorang adalah kadar ketakwaan dia kepada Allah dan amal shalehnya, bukan keturunan atau kemuliaan dalam berbicara, atau dengan harta dan kekayaannya.

     

    Hadits ini juga mengandung perintah untuk tidak mengabaikan orang-orang fakir, karena banyak orang gembel kusut yang lebih baik ketimbang orang yang memiliki pangkat dan kekayaan. Ketinggian pangkat dan penguasaan materi di dunia tidak sama sekali berpengaruh dalam timbangan Islam.

     

    Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Banyak orang gembel kusut didorong mendekati pintu surga, jika bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mewujudkan sumpahnya."

    Atau jika dia bersumpah demi ingin mendapat kemuliaan Allah, maka Allah akan mewujudkan tujuannya, mengabulkan permintaannya dan memberi apa yang diinginkannya.

     

    Lain dengan keterangan tadi, Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Akan datang seorang laki-laki yang besar lagi gemuk pada hari kiamat, di mata Allah dia tidak lebih berat dari  sayap nyamuk."

     

    Muslim juga meriwayatkan dari Abu Sa'id al Khudri ra, bahwa Nabi saw bersabda: "Surga dan neraka melakukan protes. Neraka berkata: kenapa aku menjadi tempat bagi orang-orang yang sombong lagi takabbur. Kemudian surga juga berkata: mengapa aku menjadi tempat orang-orang yang paling miskin dan paling lemah. Akhirnya Allah memutuskan antara keduanya. Surga adalah rahmatKu, dengan engkau Aku memberi rahmat kepada siapa saja, dan neraka adalah azabKu, dengan engkau Aku bisa mengazab siapa saja, dan keduanya tetap akan Aku isi."

     

    Allah akhirnya memberitahu apa yang dikehendakiNya dari surga dan neraka. Dan masing-masing dari surga dan neraka akan ada yang mengisinya.

     

    Dalam hadits lain muttafaq alaih yang menerangkan tentang golongan-golongan ahli surga dan ahli neraka, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid ra, bahwa Nabi saw bersabda: "Aku berdiri di depan pintu surga, aku temukan kebanyakan yang memasukinya adalah orang-orang miskin, dan orang-orang kaya tidak diperkenankan memasukinya, sementara itu penduduk neraka telah diperintahkan untuk masuk neraka, dan aku pun berdiri di depan pintu neraka, aku temukan kebanyakan yang memasukinya adalah perempuan."

     

    Hadits ini mengandung kabar tentang hal-hal ghaib, yaitu tentang ahli surga dan ahli neraka. Penduduk surga adalah orang-orang miskin dan kaum papa sementara kebanyakan ahli neraka adalah perempuan yang bermaksiat kepada Allah, meninggalkan kewajiban, menolak kebaikan dan keindahan, terutama menolak untuk berbuat baik terhadap suami. Begitulah kondisinya perempuan-perempuan yang bermaksiat.

     

    Walau begitu, dalam diri perempuan tetap ada kadar kesucian yang tinggi sehingga mereka pun akan berlomba-lomba dengan kaum laki-laki dalam mendapatkan derajat surga yang paling tinggi, karena ukuran yang dianggap dalam mendapatkan surga adalah amal saleh. (Taufik Munir)


Top