“Nuun.
    Demi Pena dan apa yang mereka tuliskan.”

    (QS. Al-Qalam: 1-2).



    Kalau Anda suka menulis, bekerja sebagai penulis atau memang aktifitas Anda menulis. Atau barangkali Anda punya hobi menulis. Anda boleh bangga dengan pena Anda. Apa pasal? Sebab pada Lailatul Qadar, di bulan Ramadhan itu, wahyu pertama diturunkan. Malaikat Jibril membawa pesan ilahi secara lengkap menjadi satu surah secara utuh. Dalam surah itu disebutkan kata qalam atau pena.


    “Bacalah, dan Tuhanmu yang Maha Mulia yang mengajari dengan qalam, Yang Mengajari manusia apa yang tidak ia ketahui.”


    Ayat ini seakan menarik perhatian umat Islam saat itu. Bagaimana tidak, istilah "pena" belum dikenal di dunia Arab pada saat itu. Buta hurup merajalela sedemikian parah, dan sulit diberantas. Sementara kejahiliyahan menjadi-jadi. Yang berinteraksi dengan pena di awal kedatangan Islam bisa dihitung dengan jari satu tangan. Anehnya, tiba-tiba saja al-Quran turun dan menyebutkan kata pena tanpa tedeng aling-aling.


    Sekarang kita tahu sebabnya mengapa wahyu pertama yang diturunkan itu mengajak umat manusia untuk membaca, dengan pena sebagai perantara pertama untuk menghasilkan karya tulis. Karena ternyata pena adalah sarana pendidikan dan intelektualitas yang paling umum digunakan di manapun berada. Pena juga mampu menyihir, mendakwah, juga mempengaruhi opini publik. Fakta tersebut belum pernah terungkap selain pada era kemajuan di segala bidang seperti sekarang ini.


    Zaman baheula, who knows? Allah mengetahui hakekat pena yang sebenarnya. Allah menyinggung kata pena di permulaan detik-detik risalah untuk Nabi Terakhir dan di awal kewahyuannya, sedangkan nabi Muhammad SAW bukanlah seorang penulis yang mencatat huruf-huruf, kata dan kalimat dengan pena. Ini menegaskan sekali lagi bahwa al-Quran turun dari langit bukanlah buatan manusia seperti klaim musuh-musuhnya.



    Pena: Nama Surah Al-Quran


    Kalau sering membaca al-Quran, pada juz ke 29 Anda akan segera menemukan nama surah AL-QALAM (Sang Pena). Dalam surah ini Allah swt bersumpah atas nama pena:

    “Nuun. Demi Pena dan apa yang mereka tuliskan.”


    Kata ahli tafsir, surah ini termasuk surah kedua dari segi urutan turunnya walau dalam mushaf al-Quran yang ada pada kita tercatat dalam urutan ke 68. Kalau memang Anda si empunya pena, sekali lagi, bolehlah Anda berbangga. Tapi syaratnya sang pena harus mencerminkan representasi ‘gaul’ Anda dengan sang Khalik, karena Ia yang melindungi si empunya pena dari terpeleset lidah (eh.. terpeleset pena), melampaui batas hingga going to far, menimbulkan excess, tendensius atau mungkin prasangka buruk kepada orang lain. Sebab sejak awal pena identik dengan Sang Pencipta langit dan bumi. Di wahyu pertama itu Allah swt berfirman:


    “Bacalah, dan Tuhanmu yang Maha Mulia yang mengajari dengan qalam, Yang Mengajari manusia apa yang tidak ia ketahui.”

    Kalau sang penulis tidak punya “kontak” dengan Allah, maka semua karya-karyanya tanpa makna. Kalaupun sukses, maka kesuksesannya semata-mata di dunia belaka, sementara di alam baka sana buah pena akan mengering, bahkan menjelma menjadi makhluk yang menjadi saksi terhadap “apa yang mereka tuliskan”. Dalam hal ini, sangat malang nasib mereka. Ya pena-nya, ya tuannya. (Taufik Munir)

    Pada suatu ketika Nabi SAW bersabda, "wahai kaum wanita, perbanyaklah sedekah, karena aku lihat golongan kalian yang paling banyak menghuni neraka." Lantas seorang diantara mereka bertanya, "wahai baginda yang mulia, mengapa kami yang paling banyak menghuni neraka?". Nabi menjawab, "kalian banyak mengutuk dan mengabaikan suami. Aku tidak melihat orang-orang yang kurang akal dan agamanya yang paling banyak selain dari golongan kalian". Wanita lainnya bertanya, "wahai Rasul, apa yang engkau maksud dengan kurang akal dan agama?". Nabi menjawab, "bukankah kesaksian wanita sama dengan setengah kesaksian pria, dan bukankah banyak wanita yang berdiam diri, berhari-hari tidak shalat?". (HR. Bukhari-Muslim).

    'Kurang akal' dalam Hadis di atas bukan berarti bodoh, kurang cerdas atau penistaan terhadap kemampuan wanita dalam berfikir dan mengurusi masalah. Secara historis al-Quran menyebutkan bahwa Bilqis mampu menandingi daya pikir seluruh kaumnya, yang mengindikasikan bahwa intelektualitas ratu dari negeri Saba itu tidak tertandingi. Al-Quran juga menceritakan wanita-wanita mulia yang berlimpah kebaikan, pandai bersabar, dan mereka yang penuh pengorbanan.

    Maryam, Asiyah, dan ratu Bilqis tadi hanyalah beberapa contoh. Wanita yang dicatat al-Quran sama banyaknya dengan jumlah pria. Namun Allah SWT telah menciptakan tabiat wanita berbeda dengan tabiat pria. Diantara satu 'tabiat' wanita adalah banyak lupa sehingga ia perlu orang lain yang mengingatkannya. Tak heran jika al-Quran menyebutkan kesaksian dua wanita sebanding dengan satu pria, alasannya "supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya" (QS. Al-Baqarah [2]: 282).

    Sedangkan pengertian 'kurang agama' adalah 'dispensasi'. Dikala tengah menstruasi, wanita tak mungkin melaksanakan shalat dan puasa. Allahlah yang menciptakan perubahan biologis wanita seperti itu, karenanya Allah memberikan dispensasi sekaligus kompensasi yang jarang diperoleh kaum Adam. Sejarah banyak mencatat prestasi ibadah wanita-wanita salehah yang tidak tertandingi kaum pria.

    Wanita, seperti halnya pria, mempunyai dualisme kecenderungan pada kebaikan atau keburukan, taat atau maksiat, memimpin kebaikan atau mungkin gembong kejahatan. Wanita yang menjadi imam kebajikan mampu mengimami umat dalam berjuang dan berkorban. Wanita yang menjadi "imam" kejahatan akan mengomandoi umat kepada dekadensi. Karena itu Rasulullah SAW bersabda: "sesungguhnya kebaikan wanita beriman sama seperti amal perbuatan 70 para shiddiqin, dan sesungguhnya wanita penjahat lebih dahsyat daripada perlakuan 1000 orang penjahat". (HR Abu Na'im).

    Umat Islam paling pandai mengalahkan nafsu, mampu membentengi diri dari kemauan syaitan, bisa melawan keinginan busuk, bahkan tidak kemaruk terhadap perhiasan dunia. Ironisnya tidak sedikit yang ternyata malah jatuh tersungkur di hadapan wanita. Karena itu Yahudi punya trik-trik sendiri jika berperang menghadapi kaum Muslimin. Jika gagal unjuk kekuatan di hadapan barisan militer umat Islam, mereka akan suguhi wanita-wanita cantik. Karena itu, penggunaan unsur wanita di layanan publik dan sejumlah iklan yang mampu merangsang animo dan memancing fitnah merupakan sunnah qadimah (gaya baheula) Yahudi. Kendatipun waktu dan tempat berganti, sunnah kaum kafir tidak akan pernah berubah. Yang menjadi pertanyaan: siapa sebenarnya yang kurang akal?

    Keterangan gambar: Anousheh Ansari, Astronot Muslimah berkebangsaan Iran

    Cerpen Taufiq Munir

    Zahra nampak tergesa-gesa membawa sebuah kardus yang terbungkus kantong plastik hitam. Setelah sampai di rumahnya, didapatkannya Zaki, ustadz muda yang tak lain adalah suaminya, tengah khusyu dalam dzikirnya, dengan kedua kruk penyangga tubuh yang senantiasa berada di sampingnya.

    “Assalamu’alaikum, Bang. Lihat, Zahra bawa apa?!!” tanya Zahra seraya mengulurkan benda tersebut.

    Suara lembut istrinya dengan nafas yang masih tersengal-sengal membuatnya sedikit terkejut, sejenak ia memandang istrinya dengan penuh tanda tanya. Sementara Zahra hanya tersenyum kecil menanggapi riak muka suaminya yang kebingungan.

    “Apa ini dik?” tanya suaminya.

    “Buat Abang. Buka dong. Masak bengong”. Segera ia membuka bungkusan itu, dengan penuh rasa ingin tahu. “sepasang sendal kulit baru”. Ia ertegun sejenak. “Zahra lihat sandal abang sudah buruk sekali. Nah makanya Zahra belikan yang baru, biar nanti kalau shalat idul fitri abang pakai.. Coba dicocoki dulu, pas nggak?” kata istrinya dengan mata berbinar .Zahra menghampiri dan dengan sabar membantunya berdiri. Senyumannya tetap tersungging di bibir merahnya, yang tidak pernah tersentuh lipstik.

    “Ah, Zahra istriku” gumamnya, “aku tahu kau lelah, tapi itu ak pernah kau tampakkan, bagaimana tidak, menjadi istriku kau melakukan pekerjaan double karena aku tidak dapat berbuat banyak di atas topangan kruk penyangga tubuh ini”. Ustadz muda itu merasa tercekat hatinya, masih sempat menyisihkan uang untuk membelikan sesuatu yang memang tengah ia butuhkan. Sendalnya memang sudah masanya untuk diganti. Bahkan sendal itu juga sudah dua kali disol, tapi keinginan untuk mengganti dengan yang baru ia singkirkan jauh-jauh. “Toh masih bisa diperbaiki”, pikirnya saat itu, karena masih banyak kebutuhan lain yang perlu diutamakan.



    Timbul sedikit rasa sesal di hatinya. Seandainya ia tidak cacat, tak akan menjadikan istrinya dalam keadaan seperti ini, yaitu sebagai tulang punggung pencari nafkah dan tak akan hidup serba pas-pasan seperti saat ini. Astaghfirullah…langsung saja ia tepiskan pikiran yang mengandai-andai itu. Toh ia telah dikaruniai sebaik-baiknya perhiasan dunia, seorang istri yang sholehah.

    Zahra, gadis cantik dan sholehah yang ia pilih tiga tahun yang lalu untuk mendampingi hidupnya, ketika ia masih sempurna. Tiba-tiba saja musibah datang di tengah kebahagiaan dua sejoli itu ketika berbulan madu di luar kota. Peristiwa kecelakaan lalu lintas itu menjadikan Zaki harus diamputasi. Bahkan malang bagi Zaki, kecelakaan itu menyerang sel syaraf reproduksinya sehingga tak bisa memberikan keturunan.

    “Kau tidak menyesal kunikahi, dik?” tiba-tiba kalimat itu meluncur ari mulut Zaki, tanpa sengaja, karena mengingat penderitaan istrinya selama berada di sisinya. Ia, tidak berani menatap istrinya. Zahra langsung bersimpuh di kedua lutut suaminya.

    “Bang, kenapa perkataan itu harus terulang kembali?” suara Zahra terdengar parau dan tersengal seperti menahan tangis. Memang semenjak musibah itu terjadi, kalimat itulah yang paling membuat Zahra bersedih. “Tidak dik, bukan itu maksud abang”, ia menelan ludah, tenggorokannya kering dan dadanya terasa sesak.

    “Keadaanku membuatmu menderita” Zahra menumpahkan tangisnya di pangkuan suaminya. “bang Zaki, pilihan Allah yang terbaik buat Zahra, Zahra bersyukur dipilih Allah untuk menjadi istri abang. Demi Allah, Zahra tidak pernah merasa menderita karena abang,” Zahra berkata di sela isak tangisnya. Zaki, suaminya mengusap kepala Zahra yang terbungkus jilbab kaus warna putih. Ustadz muda itu pun tak mampu menaan tetesan air yang keluar dari matanya. Tiba-tiba Zahra berdiri, dengan tangan masing-masing memegang kruk. “Bang, pukullah Zahra dengan ini kalau merasa ada sikap Zahra yang tidak menyenangkan hati abang” serak dan parau hati Zahra, tetapi bibirnya menyungging sebuah senyum keikhlasan. Ada gemuruh di dada ustadz muda itu, tak kuasa mendengar ungkapan tulus istrinya.

    Zaki merasa gelisah, sudah dua minggu Zahra berada di rumah sakit. Menurut hasil pemeriksaan dokter, istrinya mengidap penyakit anemia yang sudah cukup lama. Sejak pagi, ia tak beranjak dari sisi pembaringan istrinya, hatinya berdebar kencang tak menentu, manakala ia menatap wajah istrinya. Batinnya tersentuh haru, tampak istrinya tergolek lemah, matanya terpejam, tampak kurus dan pucat. “Zahra, istriku”gumamnya, “betapa besarnya ketabahan hatimu, sekian lama kau berjuang melawan penyakit yang diderita. Sementara aku, apalah ketabahanku menjalani cobaan Allah, dibandingkan denganmu”.

    Lamat-lamat suara azan isya berkumandang. Tiba-tiba istrinya membuka mata, senyumnya mengembang begitu tampak, “jam berapa sekarang, Bang? tanya Zahra lirih. “Baru adzan Isya Bagaiman keadaanmu, dik”.

    “Bang, sudah dua minggu, Zahra tidak bisa ikut berpuasa, rasanya sayang sekali!!”.

    Ucapnya dengan nada setengah menyesal. Sekejap saja jari telunjuk Zaki, suaminya sudah berada di tengah bibirnya. Seakan mengisyaratkan jangan berkata seperti itu.

    “Dik, apakah adik lupa dengan ayat maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Jangan terlalu dirisaukan, yang terpenting adik bisa sehat, dan kembali mengerjakan amal-amal ibadah”. Zahra hanya tersenyum sambil mendengarkan apa yang dituturkan suaminya. “Bang, Abang tidak sholat taraweh?”, tegur Zahra. “Jangan risaukan Zahra, ada suster yang menemani”.

    ***

    Hanya tingal beberapa jama’ah yang masih berada di masjid yang terletak dekat rumah itu. Zaki merasakan sesuatu yang sejuk meresap dalam hatinya. Kegelisahan yang sejak beberapa hari lalu terasa mencekam, enggan menyingkir dari dalam dirinya kini hilang dan terasa ringan beban pikirannya. Dengan khidmat ia bersimpuh. Ia terus berdo’a khusyu untuk istrinya, tanpa terasa matanya telah basah, basah oleh kedamaian yang menguasai jiwanya.

    Suasana pelataran masjid sudah sangat sudah sepi. Perlahan ia bangkit

    “Oh krukku”, baru ia sadari kruknya raib dari sisinya. Sementara Edi dan seorang temannya sibuk mencari sebelah kruk yang belum ketemu, sementara pikirannya melayang pada istrinya yang sedang menunggu.

    “Belum ketemu, dik Iwan?” tanyanya pada teman Edi yang baru masuk dari pintu sebelah kanan mesjid. “Ini bang. Sudah ditemukan di tempat wudlu wanita, anak-anak di sini memang nakal-nakal, bang”, ujarnya. Zaki menghela nafas, ya Rabb, haruskah ia marah karena dibuat mainan oleh anak kecil?

    Ketika ia tiba di halaman rumah sakit, Ayah Zahra, mertuanya telah ada di sana, menyambutnya, lalu mengajaknya duduk di bangku panjang. Perasaannya tak enak, dari cara bicara dan sikap mertuanya, ia mempunyai firasat bahwa sesuatu telah terjadi pada istrinya. Dan... ternyata? Benar.

    “Istrimu telah berpulang ke rahmatullah, nak” ujar mertuanya lirih nyaris tak terdengar. “Innalillahi wa innalillahi rajiun. Desisnya, dengan hati pepat. Ia tak kuasa lagi menahan jatuhnya air mata. Mertuanya merangkul pundaknya berusaha memberikan tambahan kekuatan.

    Ia tercenung beberapa saat, kesedihannya perlahan tersingkir oleh rasa syukur dan bangga terhadap istrinya. Istrinya telah meninggalkan pelajaran yang dalam untuknya yaitu sebuah ketabahan dan kesabaran, yang tiada bandingannya ketika mengarungi hidup bersamanya. Sesaat telah kehilangan perhiasan dunia yang ia miliki.[]

    ,

    Rosbandi, M.Pd. Nama yang tidak asing lagi di kalangan pendidikan di kecamatan Mauk. Ia lahir di Tangerang, 17 Maret 1960. Menamatkan pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah Mathla'ul Anwar Tegal Kunir Lor pada tahun 1974. Setelah itu Pak Ros (nama panggilan beliau) belajar di PGA MA di tahun 1979. Pak Ros juga pernah menuntut ilmu di Pandeglang, tepatnya ketika masih duduk di madrasah Aliyah Mathla'ul Anwar Menes pada tahun 1981. Usai belajar di sana, lalu ia menggali ilmu agama di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga tahun 1990. 

    -->
    Selama kuliah, "pak Ros" paling suka mengikuti aktifitas di HMI, KAMAJAYA dan IKMABI. Guru yang bersahaja ini paling suka dengan cerita-cerita humor dan kisah-kisah teladan tempo doeloe. Maka tak heran bila pria humoris ini lekas melekat di hati para muridnya sejak pengabdiannya di Madrasah di era 1990-an hingga sekarang. Karena pergaulannya yang supel, pak Ros sekarang menjabat sebagai Wakil Kepala Madrasah bidang Hubungan Masyarakat di MAN Mauk. Pesannya untuk anak-anak, "tingkatkan terus kualitas diri!".

    ,

    Hani Nurhaeni, S.Pd., M.Pd, lahir di Tasikmalaya, 7 September 1976. Menamatkan Sekolah Dasar di SDN Picung Remuk I Tasikmalaya. Setelah tamat di STMN I Tasikmalaya, ia kuliah di jurusan Tek. Elektro, UPI Bandung. Selama belajar di sana, Bu Hani, --begitu ia akrab disapa, paling suka aktif di PMR dan Pramuka. Hal lain yang paling ia suka adalah mempelajari instalasi listrik. 

    Mengabdi pertamakali sebagai guru/tenaga pengajar di MAN Mauk pada tahun 2002. Sebagai PNS guru di madrasah, Bu Hani juga aktif mengajar di STKIP Banten. 

    Pesan untuk anak-anak: Rajinlah belajar, capailah cita-cita setinggi langit, agar kamu menjadi anak yang berguna bagi bangsa dan Negara serta dunia dan akhirat.

    ,

    Bayi Faeruzi, S.Pd, lahir di Tangerang 26 Juni 1976. setelah menamatkan Sekolah Dasar Negeri 2 Mauk pada tahun 1989, SMPN 1 Mauk dan SMAN 1 Mauk, ia belajar di UHAMKA hingga tahun 2000.

    Satu hal yang menarik selama belajar di SMA, ia paling senang aktif di OSIS Seksi Kerohanian Islam (ROHIS). Hobi itu terus berlanjut hingga di Perguruan Tinggi, tepatnya di IMM. Selama di sekolah dan PT itu, ia juga senang dengan mata pelajaran Sosiologi dan Ekonomi Macro dan Micro. Namun jangan tanya dengan pelajaran-pelajaran eksakta. "Saya paling benci dengan pelajaran-pelajaran berhitung", tegasnya. Sebagai guru atau staf pengajar di MAN Mauk sejak tahun 1997, pak Bayi –begitu ia akrab disapa, begitu akrab dengan denyut nadi madrasah yang didirikan sejak 1995 ini. Karena itu pula, pak Bayi sering dipercaya untuk menjadi koordinator dan Pembina Seni setiap hari Sabtu.

    ,


    -->

    Ikhwan Kamil Marfu, ini adalah nama lengkap saya. Saya dilahirkan di Tangerang pada hari Rabu tanggal 10 Nopember 1965, di ”bubuan” Sumur Bor Desa Jati Kec. Mauk (sekarang Desa Buaranjati Kec. Sukadiri).
    Ketika menginjak usia sekolah sekitar umur 6 tahun, ditandai dengan tangan kanan dah bisa sampai ke telinga melintasi atas kepala, saya mulai disekolahkan di SDN Jatigintung I pagi. Waktu itu belum ada TK. Saya menyelesaikan SD pada tahun 1977. Pada waktu SD kelas 2, pada siang hari saya bersekolah juga di Madrasah Ibtidaiyah Mathla’ul Anwar Jati (sekarang SMP MA Buaranjati). Gak sampai kelas 6, karena kelas 5 dah ikutan ujian. (yah kalau sekarang ekselerasi, lah).
    Selesai tamat di SD kemudian melanjutkan sekolah di SMPN 1226 Mauk yang sekarang berubah nama menjadi SMPN I Mauk, yang kemudian tamat di tahun 1981. Ingat loh waktu kelas I SMP sekolahnya setahun setengah. Kebijakan pemerintah secara nasional ditambah setengah tahun. Makanya sekarang tahun ajaran baru dimulai pada bulan Juli, padahal sebelumnya tahun ajaran baru dimulai pada bulan Januari. Biarin aja lah biar tambah pinter.
    Tamat SMP, saya melanjutkan ke Madrasah Aliyah Mathla’ul Anwar Pusat Menes Pandeglang. Kenapa melanjutkan ke Menes? Karena waktu itu Menes lagi ’ngetrend’. Kan budaya orang Jati mah ”tuturuti”. Rame ke Menes, banyak ke Menes. Rame ke Cipasung banyak ke Cipasung. Begitu kan sampe sekarang juga? Di Aliyah MA Menes tamat tahun tahun 1984. Enakin juga loh 3 tahun tinggal di Menes. Bisa belajar bahasa sunda yang agak halus, belajar ’nyoret’ kitab gundul, belajar berkebun, dan seabreg pengalaman.
    Tapi juga pernah ngalami kenangan pahit tuh! apa? Waktu kelas 1 pernah jatuh dari jembatan kereta, masih untung gak ke jurang, karena keburu pegangan ke besi jembatan.
    Dari Menes melanjutkan ke Ciputat yaitu ke IAIN (sekarang UIN), ambil Fakultas Tarbiyah jurusan/program IPS, karena bercita-cita ingin jadi guru. Tamat Januari 1990. Sehingga mulai Januari 1990, tambah panjang deh namanya menjadi Drs. Ikhwan Kamil Marfu.
    Sejak tahun 1990 mulai mencoba ngamalin ilmu yaitu dengan mengajar sembari mengabdi di Perguruan MA Jati. Ya sambil bolak balik ke Ciputat. Karena waktu itu masih ada kerjaan ngajarin privat ngaji, lumayan buat tambah-tambah.
    Tahun 1993, alhamdulillah mulai menjadi pegawai negeri Perpustakaan Nasional di Salemba Raya Jakarta. Banyak juga pengalaman dan ilmu baru yang diperoleh di kantor ini, terutama dunia perpustakaan. Di Perpustakaan Nasional pernah dipercaya sebagai Subyek Spesialis Islam, pernah juga jadi Ketua Kelompok pengolahan Bahan Pustaka Luar Negeri, juga pernah jadi Wakil Sekretaris KORPRI Unit Perpusnas.
    Tahun 2000, karena punya rumah di kampung halaman, akhirnya dinasnya tidak lagi di Perpusnas (sebutan singkat Perpustakaan Nasional). Tapi pindah ke ’habitatnya’ sebagai guru, yakni guru di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Mauk. Sejak tahun 2001 sampai sekarang mengajar mata pelajaran Sejarah.
    Disamping tugas pokok mengajar, juga ada tugas tambahan, yaitu: pernah jadi Wakil Kepala Madrasah Bidang Kesiswaan, dan Wakil Kepala Madrasah Bidang Humas. Sekarang tugas tambahannya sebagai Wakil Kepala Madrasah Bidang Kurikulum.
    Sejak tahun 2006, karena tuntutan aturan dan zaman, bersama teman-teman guru, melanjutkan kuliah program S2 di Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. Kuliahnya gak di Surabaya, tapi setiap semester wajib ke Surabaya. Tahun 2008 alhamdulillah kuliahnya selesai. Sehingga namanya tambah panjang lagi deh menjadi Drs. Ikhwan Kamil Marfu, M.Pd.
    Waktu sekolah dan kuliah seneng banget tuh ke --yang namanya-- berpacaran, eh sorry ’berorganisasi’ maksudnya. Di Aliyah dulu pernah jadi Ketua Ikatan Pelajar Tangerang-Menes. Juga waktu kelas 2 jadi ketua IPMA (Ikatan Pelajar Mathla’ul Anwar). Waktu kuliah, beberapa organisasi pernah diselami. Diantaranya; pernah jadi pengurus HMB (Himpunan Mahasiswa Banten) cabang Ciputat. Pernah jadi Ketua KAMAJAYA (Keluarga Abituren Mathla’ul Anwar Jakarta Raya). Pernah jadi Pengurus HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) cabang Ciputat. Juga pernah jadi Ketua Umum PII (Pelajar Islam Indonesia) Cabang Ciputat. Wah kapan tuh bagi waktu untuk kuliah dan berorganisasi? Kenyataannya bisa. Terbukti hasil kuliahnya (IP-nya) tinggi juga. Berorganisasi itu asik juga, banyak ilmu yang bisa kita peroleh yang tidak diberikan di bangku kuliah. Disamping itu juga bisa banyak berkenalan dengan semua lapisan masyarakat dan bisa melakukan kunjungan/pesiar ke berbagai tempat.
    Buat anak-anak Bapak yang baik hati dan rajin mengaji, pesan Bapak:
    Kalau ingin jadi orang sukses, rajin-rajinlah belajar. Belajar ke Buku, belajar ke Orang-orang, dan Belajar ke Alam. Hiduplah dengan penuh PD, jangan cepat putus asa. Hiduplah seperti air. Kamu liat air, dia tidak pernah diam, selalu gerak terus mencari dan mengisi lubang-lubang yang kosong, dia gak tamak, tidak pernah air mucung ketika mengisi yang kosong. Air tidak sombong, kamu liat kalaupun dia dipaksa untuk mancur, tapi dia tetap tawadhu (rendah hati) ke bawah lagi. Padahal dia mampu menyegarkan orang saat kehausan. Hiasilah hidupmu dengan banyak melakukan aktifitas positip, jangan mengikuti orang lain yang kita tidak tau manfaatnya (wala taqfu ma laisa laka bihi ’ilm). Kata Uyut Urang jatimah ”Ulah Tuturuti Lamun Teu Ngarti”, semoga.


Top