Cerpen Deccia Citra
    (XII IPA1).

    Hijab putih yang menutupi wajahku perlahan terbuka. Orang-orang di sekeliling berbisik memanggilku. Badanku lemah, tak cukup kuat untuk bangkit. Kepalaku pusing, mataku berkunang-kunang.

    “Jab, hijab… Bangun. Sadarlah, nak” Bi Endah membangunkanku. Sambil menahan tangis. Aku tahu ia terisak-isak berbaur dengan alunan surat yasin yang sedari tadi dikumandangkan dipusara ibuku. Ya, ibuku sekarang di dalam sana, tanpa sempat ku meminta maaf.

    Siang itu.

    Prrang….

    “Hijab bosen bu hidup begini, selalu susah. Hidup susah, makan susah, mau gaya-gaya susah. Ini dilarang itu dilarang. Pengen itu, selalu gak bisa. Hijab malu bu, Hijab pengen kaya orang-orang”

    “Maafkan ibu ya nak, nanti kalau ibu sembuh ibu akan cari uang lagi. Hijab pengen apa nanti ibu belikan ya...”

    Sambil menangis ibu membujukku. Sekali lagi, Prrang… Piring, gelas, pecah berantakan. “Kapan ibu bisa beli? Ibu Cuma bisa janji, tapi gak bisa beli!”

    “Astaghfirullah, Hijab…” tangis ibu menjadi.

    “Inget ya bu, panggil aku Nisa, namaku Anisatul Hijab. Jangan panggil Hijab. Norak!”

    Ibu hanya menangis sambi bersimpuh.

    “Udahlah bu, Hijab bosen hidup sama ibu. Hijab mau pergi!”

    Dari kejauhan hanya tangisan ibu memanggil namaku yang ku dengar.

    Sejenak di sekelilingku sepi. Banyak orang belalu lalang, tapi acuh. Serasa asing. Tatapan mereka aneh jika memandangku. Ah… apa peduliku sekarang aku bebas.

    Tapi, sekarang aku mau kemana? Uang tidak ada,pakaian tidak sempat dibawa dan tempat berteduh untuk malam ini pun belum ku rencanakan. Di sakuku hanya terselip dua lembar lima ribuan dan satu buah HP yang dibelikan pacarku. Ah iya, kenapa tidak terpikir, malam ini aku disana saja. Pasti dia mau menerimaku.

    Pintu pagar tersingkap, awalnya aku ragu, tapi ya sudahlah… apa yang salah, dia pacarku. Pasti mau membantuku, aku benar kan…?

    Tanpa ragu ku buka pintu pagar dan aku terkejut melihat dia dengan perempuan lain. Oh Tuhan! Kepalaku pusing, nafasku sesak, mulutku tak bisa berkata-kata. Padahal ribuan hujatan yang ingin ku lontarkan. Sesaat aku tersihir. Air mataku mengalir deras. Dia hanya menatap. Langkahku gontai saat aku berjalan ke arahnya. Hanya satu kalimat yang bisa ku keluarkan dari ribuan hujatan di otakku. “Aku benci kamu…”

    Mobil angkut yang ku tumpangi berjalan lambat. Penumpangnya hanya aku. Aku menangis sambil menghujat. Ada rasa penyesalan, menyesal mengenangnya dan menyesal karena tidak mendengarkan ibu. Ibu selalu bilang bahwa ia kurang suka dengan laki-laki itu. “Dia sepertinya bukan laki-laki baik-baik nduk…:” berkali-kali ibu bilang begitu. Ah… Ibu. Sedang apa ya sekarang?

    HP ku berdering sms masuk.

    Message from Denny

    Nisa, cynk maf ne g ky qm kira, dy bkn cp2 cynk. Dgrin q dlu dund…pliz L

    Aku balas singkat.

    Kita putus!

    Ah, harusnya dari dulu ku katakana ini.

    Sekarang kemana tujuanku? Kembali ku otak atik HP. Ah iya, masih ada Vita, mungkin dia bisa membantuku. Best friend forever ever after itu selogan genk gonk kami.

    Message to Vita

    Hy Vit, U gy dmn? Bs tlngn w ga? L

    Message from Vita

    Hy Niz, U np? Tlngn pa neh?

    Message to Vita

    W cbut dr humz..W mlz ma nykap W. U bs ga tlngn W, mlm neh ngnep k humz U?

    Plizzz….

    Message from Vita

    Sorry nis, w g bs.nyokap w glak.w bs blg pa ma nyokb lw u kbur dr rmh. Bza abiz W dcrmhn. Sory ya..

    Message to Vita

    Ywd dc gpp. Mkci ya…

    Huft…. Kemana lagi? Hari mulai gelap, tapi sampai saat ini ku belum dapat tempat menginap. Ku coba hubungi temanku yang lain. Best friend forever ever after masih jadi penguatku.

    Message to Rini

    Rin, tlngn w dund… T_T

    Message from Rini

    U npe nIz..???

    Message to Rini

    W Pergi dr humz..mlm neh w gda tmpt ngnep. Bz gag w ngnep dtmpat U…??? L

    Message from Rini

    Mf ye cob,,, w gag bsa..kmr’y smpit, U tw kan w bwu2 cma de w,,mw dtro dmn U drmh W

    Uh…teman ku yang ini memang terkenal pelit, disaat genting pun tetap pelit.

    Angkot terus melaju. Pikiranku melayang. Butiran bening nan hangat mulai membasahi pipiku. Mataku panas. Disaat ku butuh begini, tak seorangpun yang bisa membantu, tak juga genk gonk Best friend forever ever after, ah bullshiiit!

    Kenapa tho Nduk…? Suara hangat bersahaja menyapaku pelan. Aku tidak sadar sedari tadi sudah berapa kali gonta ganti penumpang. Dan yang tersisa hanya aku dan si ibu ini. Aku diam.

    “Kok kelihatannya sedih?”

    Aku hanya tersenyum. Si ibu juga tersenyum. Kami saling diam. Sesaat kemudian terlihat dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya

    “Ayo diminum nduk, mumpung masih hangat…”

    Ditangannya sebotol teh hangat yang ia bawa dari rumah, disodorkannya kepadaku.

    “Mmmm…Makasih bu”

    Si ibu tersenyum senang.

    “Mau kemana tho nduk?”

    “Gak tau bu, saya bingung.”

    “Lho, kok ndak tahu, memangnya rumah kamu dimana?”

    Aku hanya menggeleng.

    “yowis, ikut saja kerumah ibu nduk…”

    “Emm..tap,,tap,,,tapi bu..?”

    “yowis ora opo-opo, ayu ikut saja. Mas, Aku tak ngiri yo…Aku mandeg neng kene wae”

    Si ibu berteriak kepada supir dengan logat jawanya yang khas. Aku menurut sajalah. Toh malam ini aku belum mendapatkan tempat untuk menginap.

    Si ibu menuntunku ke jalan setapak. Jalannya masih berbatu dan tanah merah. Agak becek, tampaknya baru saja hujan. Aku sedikit mengangkat celana jeans ku yang kepanjangan. Si ibu menyingkapkan roknya agar tidak terciprat air.

    “Namamu sopo nduk?”

    “Nisa Bu, Anisatul Hijab.”

    “Apik tenan namamu nduk, Hijab. Pasri ibumu ingin anaknya tertutup, eh maksud ibu lebih menutup dan tahu batasan.” Si ibu meralat kata-katanya sambil terkekeh. Perkataan si ibu membuatku terhenyak. Aku ingat sewaktu aku SD kelas V. Siang itu, aku masuk rumah dengan terburu-buru. Sambil menangis, aku memeluk ibu.

    “Bu, kenapa sih aku dipanggilnya Hijab? Enggak Nisa aja…?”

    Ibu tersenyum, dan membelai rambutku.

    “Memangnya kenapa tho nduk?”

    “Kata teman-teman Hijab, namanya enggak keren bu”

    “Ya jangan dengerin tho nduk… Hijab itu artinya penutup. Kelak ibu ingin kamu menjadi wanita yang bisa menutup auratmu dan menjaga batasanmu nduk.”

    Desiran hangat terasa di kudukku.

    “Lho kok bengong tho nduk…?”

    Pertanyaan si ibu membuyarkan lamunanku

    “Emmm,,, gak apa-apa ko bu. Emm… ini dimana bu?”

    Ibu tersenyum.

    “Disinilah rumah ibu nduk, di masjid ini. Ada kamar yang sudah disediakan pengelola masjid untuk ibu yang sebatang kara ini.”Aku kaget. Si ibu hanya tesenyum lebar melihat aku bingung.

    “Pakai ini nduk… hijab ini cocok untukmu.Pasti cantik sekali”

    Ku raih jilbab putih di tangan si ibu.

    “Cepat ambil air wudhu lalu kau solat. Mengadulah kepada-Nya atas semua masalahmu, dan mintalah diberi jalan yang terbaik.”

    Si ibu menuntunku ke tempat wudhu, setelah itu, aku solat, kakiku gemetar. Perlahan ayat suci yang ku ucapkan membuat dadaku sesak. Aku teringat ibu. Kejadian tadi siang melegakanku menjadi si malin kundang seperti dongeng orang tua zaman dulu. Astaghfirullah… Aku menangis dalam setiap gerak solatku.

    Selesai salam, mataku mencari sosok si ibu yang baru ku kenal. Sekeliling tempat sepi masjid terasa dingin. Bulu kudukku merinding baru beberapa langkah aku mencari, tiba-tiba sekelilingku gelap. Mataku berkunang-kunang, pusing. Badanku limbung dan gubrak… Badanku terhempas.

    “Nak…Bangun.”

    Suara parau membangunkanku. imam masjid sudah datang untuk mengumandangkan azan subuh.

    “Sa saya dimana ini pak…?”Ibu yang tinggal disini kemana?”

    Aku bingung dan setengah sadar.

    “Kamu sedang di masjid nak, tidak ada yang tinggal di masjid ini. Saya yang mengurus masjid ini, tapi saya tinggal dirumah yang letaknya tidak jauh dari sini.”

    “Ta tapi pak, semalam ada seorang wanita yang mengajak saya ke masjid ini dan memberikan saya jilbab putih ini. Dia juga menyuruh saya solat disini. Lalu saya tidak tahu apa-apa lagi.”

    Pak tua itu tersenyum.

    “Wallahualam bishowab nak, yakinlah ini hidayah dari Allah SWT. Ayo siap-siap solat subuh.”

    Aku masih bingung. Perlahan ku usap air wudhu ke wajahku. Segar, pikiranku sedikit tenang mungkin ini memang hidayah dari-Nya, pikirku.

    Kuputuskan pagi itu untuk pulang ke rumah. Berharap ibu mau memaafkanku dan menerima ku kembali. Oh ibu, rasanya aku rindu.

    Sayup-sayup terdengar lantunan surat yasin dari arah rumah. Sesaat berikutnya ku lihat bendera kuning bertengger di halaman rumahku. Ku percepat langkah untuk sampai ke rumah. Bi Endah dan Mang Iwang menyambutku dengan isak tangis.

    “I i ibu kemana bi?”

    “Ibumu … Ibumu Jab..huhuhu…”

    Tangis Bi Endah menadi

    “Ya Ibu kenapa?”

    “Ibumu, ibumu telah meninggal.”

    “Apa...??? meninggal mang? Innalillahi ..Ibu..huhuhu…”

    Tangisku pecah. Rasa penyesalan teramat sangat bersarang di batinku.

    Bi Endah menuntunku bangun semua terjadi begitu cepat. Kini ibu benar-benar pergi. Kembali aku teringat peristiwa di masjid semalam. Seperti mengisyaratkanku akan sesuatu. Hijab putih yang diberikan si ibu masih ku genggam. Kucium aromanya, tunggu, sepertinya ku kenal aroma ini. Aku bergegas ke kamar ibu menarik sesuatu, mukena. Ya, mukena yang sering dipakai ibu. Betapa kagetnya aku, ternyata aroma jilbab itu sama dengan aroma ibu yang khas saat solat. Aku hafal betul aroma ini. Subhanallah… Aku menangis. Lidahku keluh. Hanya memuji-Nya yang bisa ku lakukan. Ternyata hijab putih ini amanat terakhir ibu….

    Tangerang, 25 September 2010

    Cerpen Taufiq Munir

    Zahra nampak tergesa-gesa membawa sebuah kardus yang terbungkus kantong plastik hitam. Setelah sampai di rumahnya, didapatkannya Zaki, ustadz muda yang tak lain adalah suaminya, tengah khusyu dalam dzikirnya, dengan kedua kruk penyangga tubuh yang senantiasa berada di sampingnya.

    “Assalamu’alaikum, Bang. Lihat, Zahra bawa apa?!!” tanya Zahra seraya mengulurkan benda tersebut.

    Suara lembut istrinya dengan nafas yang masih tersengal-sengal membuatnya sedikit terkejut, sejenak ia memandang istrinya dengan penuh tanda tanya. Sementara Zahra hanya tersenyum kecil menanggapi riak muka suaminya yang kebingungan.

    “Apa ini dik?” tanya suaminya.

    “Buat Abang. Buka dong. Masak bengong”. Segera ia membuka bungkusan itu, dengan penuh rasa ingin tahu. “sepasang sendal kulit baru”. Ia ertegun sejenak. “Zahra lihat sandal abang sudah buruk sekali. Nah makanya Zahra belikan yang baru, biar nanti kalau shalat idul fitri abang pakai.. Coba dicocoki dulu, pas nggak?” kata istrinya dengan mata berbinar .Zahra menghampiri dan dengan sabar membantunya berdiri. Senyumannya tetap tersungging di bibir merahnya, yang tidak pernah tersentuh lipstik.

    “Ah, Zahra istriku” gumamnya, “aku tahu kau lelah, tapi itu ak pernah kau tampakkan, bagaimana tidak, menjadi istriku kau melakukan pekerjaan double karena aku tidak dapat berbuat banyak di atas topangan kruk penyangga tubuh ini”. Ustadz muda itu merasa tercekat hatinya, masih sempat menyisihkan uang untuk membelikan sesuatu yang memang tengah ia butuhkan. Sendalnya memang sudah masanya untuk diganti. Bahkan sendal itu juga sudah dua kali disol, tapi keinginan untuk mengganti dengan yang baru ia singkirkan jauh-jauh. “Toh masih bisa diperbaiki”, pikirnya saat itu, karena masih banyak kebutuhan lain yang perlu diutamakan.



    Timbul sedikit rasa sesal di hatinya. Seandainya ia tidak cacat, tak akan menjadikan istrinya dalam keadaan seperti ini, yaitu sebagai tulang punggung pencari nafkah dan tak akan hidup serba pas-pasan seperti saat ini. Astaghfirullah…langsung saja ia tepiskan pikiran yang mengandai-andai itu. Toh ia telah dikaruniai sebaik-baiknya perhiasan dunia, seorang istri yang sholehah.

    Zahra, gadis cantik dan sholehah yang ia pilih tiga tahun yang lalu untuk mendampingi hidupnya, ketika ia masih sempurna. Tiba-tiba saja musibah datang di tengah kebahagiaan dua sejoli itu ketika berbulan madu di luar kota. Peristiwa kecelakaan lalu lintas itu menjadikan Zaki harus diamputasi. Bahkan malang bagi Zaki, kecelakaan itu menyerang sel syaraf reproduksinya sehingga tak bisa memberikan keturunan.

    “Kau tidak menyesal kunikahi, dik?” tiba-tiba kalimat itu meluncur ari mulut Zaki, tanpa sengaja, karena mengingat penderitaan istrinya selama berada di sisinya. Ia, tidak berani menatap istrinya. Zahra langsung bersimpuh di kedua lutut suaminya.

    “Bang, kenapa perkataan itu harus terulang kembali?” suara Zahra terdengar parau dan tersengal seperti menahan tangis. Memang semenjak musibah itu terjadi, kalimat itulah yang paling membuat Zahra bersedih. “Tidak dik, bukan itu maksud abang”, ia menelan ludah, tenggorokannya kering dan dadanya terasa sesak.

    “Keadaanku membuatmu menderita” Zahra menumpahkan tangisnya di pangkuan suaminya. “bang Zaki, pilihan Allah yang terbaik buat Zahra, Zahra bersyukur dipilih Allah untuk menjadi istri abang. Demi Allah, Zahra tidak pernah merasa menderita karena abang,” Zahra berkata di sela isak tangisnya. Zaki, suaminya mengusap kepala Zahra yang terbungkus jilbab kaus warna putih. Ustadz muda itu pun tak mampu menaan tetesan air yang keluar dari matanya. Tiba-tiba Zahra berdiri, dengan tangan masing-masing memegang kruk. “Bang, pukullah Zahra dengan ini kalau merasa ada sikap Zahra yang tidak menyenangkan hati abang” serak dan parau hati Zahra, tetapi bibirnya menyungging sebuah senyum keikhlasan. Ada gemuruh di dada ustadz muda itu, tak kuasa mendengar ungkapan tulus istrinya.

    Zaki merasa gelisah, sudah dua minggu Zahra berada di rumah sakit. Menurut hasil pemeriksaan dokter, istrinya mengidap penyakit anemia yang sudah cukup lama. Sejak pagi, ia tak beranjak dari sisi pembaringan istrinya, hatinya berdebar kencang tak menentu, manakala ia menatap wajah istrinya. Batinnya tersentuh haru, tampak istrinya tergolek lemah, matanya terpejam, tampak kurus dan pucat. “Zahra, istriku”gumamnya, “betapa besarnya ketabahan hatimu, sekian lama kau berjuang melawan penyakit yang diderita. Sementara aku, apalah ketabahanku menjalani cobaan Allah, dibandingkan denganmu”.

    Lamat-lamat suara azan isya berkumandang. Tiba-tiba istrinya membuka mata, senyumnya mengembang begitu tampak, “jam berapa sekarang, Bang? tanya Zahra lirih. “Baru adzan Isya Bagaiman keadaanmu, dik”.

    “Bang, sudah dua minggu, Zahra tidak bisa ikut berpuasa, rasanya sayang sekali!!”.

    Ucapnya dengan nada setengah menyesal. Sekejap saja jari telunjuk Zaki, suaminya sudah berada di tengah bibirnya. Seakan mengisyaratkan jangan berkata seperti itu.

    “Dik, apakah adik lupa dengan ayat maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Jangan terlalu dirisaukan, yang terpenting adik bisa sehat, dan kembali mengerjakan amal-amal ibadah”. Zahra hanya tersenyum sambil mendengarkan apa yang dituturkan suaminya. “Bang, Abang tidak sholat taraweh?”, tegur Zahra. “Jangan risaukan Zahra, ada suster yang menemani”.

    ***

    Hanya tingal beberapa jama’ah yang masih berada di masjid yang terletak dekat rumah itu. Zaki merasakan sesuatu yang sejuk meresap dalam hatinya. Kegelisahan yang sejak beberapa hari lalu terasa mencekam, enggan menyingkir dari dalam dirinya kini hilang dan terasa ringan beban pikirannya. Dengan khidmat ia bersimpuh. Ia terus berdo’a khusyu untuk istrinya, tanpa terasa matanya telah basah, basah oleh kedamaian yang menguasai jiwanya.

    Suasana pelataran masjid sudah sangat sudah sepi. Perlahan ia bangkit

    “Oh krukku”, baru ia sadari kruknya raib dari sisinya. Sementara Edi dan seorang temannya sibuk mencari sebelah kruk yang belum ketemu, sementara pikirannya melayang pada istrinya yang sedang menunggu.

    “Belum ketemu, dik Iwan?” tanyanya pada teman Edi yang baru masuk dari pintu sebelah kanan mesjid. “Ini bang. Sudah ditemukan di tempat wudlu wanita, anak-anak di sini memang nakal-nakal, bang”, ujarnya. Zaki menghela nafas, ya Rabb, haruskah ia marah karena dibuat mainan oleh anak kecil?

    Ketika ia tiba di halaman rumah sakit, Ayah Zahra, mertuanya telah ada di sana, menyambutnya, lalu mengajaknya duduk di bangku panjang. Perasaannya tak enak, dari cara bicara dan sikap mertuanya, ia mempunyai firasat bahwa sesuatu telah terjadi pada istrinya. Dan... ternyata? Benar.

    “Istrimu telah berpulang ke rahmatullah, nak” ujar mertuanya lirih nyaris tak terdengar. “Innalillahi wa innalillahi rajiun. Desisnya, dengan hati pepat. Ia tak kuasa lagi menahan jatuhnya air mata. Mertuanya merangkul pundaknya berusaha memberikan tambahan kekuatan.

    Ia tercenung beberapa saat, kesedihannya perlahan tersingkir oleh rasa syukur dan bangga terhadap istrinya. Istrinya telah meninggalkan pelajaran yang dalam untuknya yaitu sebuah ketabahan dan kesabaran, yang tiada bandingannya ketika mengarungi hidup bersamanya. Sesaat telah kehilangan perhiasan dunia yang ia miliki.[]

    Al-Quran Perisaiku

    Cerpen: Rahmita El Jannati


    Derap langkahnya lincah dan teratur. Selincah pergerakan impuls yang berlalu lalang di setiap sel otaknya. Matanya menatap lurus ke depan, menyibak molekul kekaguman dari sekitar yang bermuara padanya. Suara berbisik terlantun dari mulut-mulut makhluk dengan rok abu-abu selutut. Di ujung koridor kelas, seorang teman wanitanya sengaja menyingkap rok beberapa senti di atas lutut. Berharap mata elang itu menukik pada keindahan kakinya. Sayang, gadis tadi tak lebih layaknya debu yang terbang dan menghilang. Lelaki itu tak tertarik sama sekali.

    Dua sohib bernama Ferdi dan Evan telah menunggunya diambang gerbang. Mereka ber-tos ala mereka sebelum Evan memulai celotehnya.

    "Wuih, hebat lu bro! lu berhasil ngalahin kak Hamdi? Ck-ck-ck. Padahal dia kan senior yang udah nyebar kemana-mana kemampuan debatnya. Seantero sekolah juga hafal nama dia!"

    "Tapi pastinya nama gue lebih booming dong…" sosok itu mendaratkan jari di dadanya sendiri. Evan dan Ferdi tertawa mengiyakan.

    "Yupz! Mau debat sains, politik, ekonomi, atau apa ajalah, argumen-argumen lu ngebuat lawan bungkam dan kalah tekak! Kayak kak Hamdi tadi!"

    "Survei membuktikan, dari setiap ajang debat yang diadakan sekolah ini, cuman lu yang selalu top rank. Gelar The Master emang pantes buat lu!"

    Bibir sosok itu tak lagi horizontal. Melainkan membentuk bulan sabit yang tertidur. Ia sedikit terkekeh mendengar pujian itu.

    "Tak heran kalau Bu Ratna, gokur fisika kita, seneng sekali sama lu."

    Ucapan singkat Ferdi membuat kening lawan bicaranya berkerut.

    "Maksud gue, beliau sebegitu kagumnya sampai-sampai tak jarang mengobral nama si Desia di depan lu."

    "Kayak mau ngejodoh-jodohin gitu ama anaknya…" Evan membumbui hingga mereka mereka tergelak hebat.

    Tak ada yang boleh menyaingiku, batinnya bersuara. Biji-biji keangkuhan telah berkecambah di dada Junior, nama lelaki berwajah perfect itu.

    ***

    Seluruh kelas XI mendadak riuh dengan jerit para penghuninya.

    Pasalnya, Junior Sang Idola terpilih jadi utusan sekolah untuk mengikuti lomba debat se-kabupaten Bandung. Bangganya ia. Terbetik dalam hatinya untuk merebut piala serta piagam penghargaan dari lawan-lawannya.

    Siang itu, matahari bersinar lebih terik. Lidah planet terpanas itu menjulur-julur dari balik dedaunan pohon tempat Junior memarkir motor. Sebuah suara memanggil tepat ia meletakkan helm di kepalanya. Rupanya Nirvan. Anak kelas IPA 1.

    "Selamat! Kau tersaring untuk ikut lomba spektakuler itu." Disalaminya jemari Junior dengan mantap. Yang disalami tersenyum sumringah.

    "Kuberi tahu satu hal. Ini adalah rahasia umum di luar sana. Tapi mungkin saja kau belum tahu." Mendengar kata debat, jiwanya bergelora seketika." Rahasia apa?"

    "Ada seseorang yang tak kalah hebatnya darimu. Ia bisa membabat habis lawan-lawannya dengan sekali gebrakan. Mungkin saja ia jadi lawanmu nanti."

    "Kau pikir aku takut?"

    "Pembicaraanku tak menuju kesana,Bung! Aku hanya menyarankan agar kau hati-hati. Dia makhluk yang cukup cantik."

    Junior mengeleng-gelengkan kepalanya. "Ada-ada saja kau ini."

    ***

    Jantung junior laksana puncbag yang dihantam seorang petinju. Kini giliran ia kembali mengemukakan argumen yang sebelumnya hampir selalu ditangkis lawan yang duduk di depannya itu. Sebab Wanita Tertindas adalah topic yang juri tentukan untuk lomba kali ini.

    "Wanita selalu tertindas, terbelakang, dan diabaikan khususnya pada masa silam, itu karena akibat hukum turun temurun yang harus mereka tanggung atas kesalahan yang di lakukan nenek moyangnya, yaitu Hawa." Junior berhenti sejenak dan meneruskan kata-katanya.

    "Hawa di takdirkan sebagai penggoda. Ia tak bersyukur atas nikmat syurga yang ia terima dengan mendesak Adam untuk memetik buah terlarang. Kalau bukan Hawa, tak akan ada lelaki yang suka hal-hal terlarang. Tak akan ada wanita yang mengkhianati suaminya. Sifat-sifat buruk mutlak seperti lemah, senang berfoya-foya, penggoda, semuanya itu menjadi faktor wanita ditindas dan diabaikan. Sifat-sifat tersebut dapat menjadi penghambat dalam dunia politik, ekonomi, serta bisnis bila wanita bergelut di dalamnya. Sebabnya, wanita dapat menimbulkan kekacauan dan merusak semua tatanan dengan sifat-sifat buruknya.. Bicara tentang sifat, berarti kita memasuki lingkup hukum pewarisan sifat. Dari mana sifat-sifat itu berasal? Tentunya itu diwariskan wanita-wanita sebelumnya. Dan ujung-ujungnya merujuk pada wanita pertama yang diciptakan. Dia adalah Hawa!" Suara junior sedikit menggelegar, mengiring pikiran para audience pada sejarah awal penciptaan dua insan di syurga. Junior yakin, bahwa pengetahuannya tentang topik ini bisa menggulingkan perempuan yang pernah Faisal ceritakan. Ia bernama Khansa. Mulut perempuan berhidung mancung itu siap meluncurkan ketidaksetujuannya terhadap pendapat Junior.

    "Pendapat anda mengenai tertindasnya wanita karena kesalahan Hawa adalah kesalahan besar." Para penonton terhipnotis dengan kalimat pertama Khansa. Mereka diam bak patung-patung Mesir kuno.

    "Tidak adil bila Hawa harus menanggung seluruh kesalahan itu. Adam dan Hawa sama-sama tergoda oleh provokator ulung di belakang mereka, yaitu Iblis. Iblis tahu Hawa itu lemah, sehingga ia lebih menekankan rayuannya pada Hawa. Jika ingin menyalahkan Hawa karena ia lemah, seharusnya Adam bisa dan dituntut untuk tahan godaan. Saya tak mau menyalahkan salah seorang dari mereka karena keduanya sama-sama bertanggung jawab terhadap pengusiran dari syurga." Khansa tetap dalam sikap tenangnya.

    "Hukum pewarisan sifat tidak bisa jadi alasan kuat. Rasulullah di masa silam telah meluruskan perilaku dan adat-adat wanita Jahiliah. Akhlakul karimah akhirnya terbentuk, dan pemahaman untuk menjahui sifat buruk yang anda sebutkan sudah menjadi sesuatu yang dipegang teguh dalam kehidupan sehari-hari. Saya juga tidak setuju bahwa wanita jadi pengacau dalam sektor-sektor sosial. Banyak kok, laki-laki yang melejit dalam karir maupun ibadah karena perempuan. Kalaupun banyak yang lalai, itu bukan semata-mata kesalahan wanita. Namun karena mental keislamannya yang belum sempurna. Pepatah mengatakan, wanita adalah tiang agama. Mengapa? Karena kejayaan suatu peradaban dimulai dengan beresnya rumah tangga yang di tangani oleh kaum hawa.. Intinya, tertindasnya wanita tak ada sangkut paut dengan Hawa. Melainkan banyak dari kaum penindas yang terkontaminasi oleh unsur misoginis yang disusupkan Yahudi yang menyebutkan hawa pendosa. Sehingga, wanita dapat diberlakukan semena-mena. Bagaimana pendapat anda selanjutnya?"

    Junior terpekur. Otaknya mendidih. Dadanya terbakar. Pikirannya mencari cara untuk mempertahankan argumennya. Obsesinya untuk menjadi nomor satu meletup-letup namun tak ada sepatah katapun yang bisa ia lontarkan. Sorot mata Khansa seolah berkata 'Mana lagi argumenmu? Ayo keluarkan!'. Junior gelisah. Ia tak dapat berfikir. "Tok-tok-tok" Juri memukul palu di atas meja tanda waktu aju pendapat gilirannya telah habis.

    "Shit! "umpat Junior pelan.

    ***

    Junior tak habis fikir, mengapa dirinya bisa jatuh oleh wanita seperti Khansa. Dibalik ketajaman argumentasinya, pasti ada sesuatu yang tersembunyi, gumam Junior. "Akan kuselidiki!" Ia mengirim SMS pada Faisal untuk meminta alamat sekolah Khansa.

    ***

    "Kau mau tau rahasiaku?" Khansa menggoda Junior. Lelaki itu mengangguk cepat. Ia sebenarnya gengsi menanyakan langsung pada rival barunya itu. Tapi ia coba menguburnya dalam-dalam.

    "Sederhana saja. Rahasia itu adalah Al-Quran. Tempat segala ilmu bersumber. Dalam Al-Quran, terdapat jawaban dari setiap permasalahan yang muncul di permukaan. Ia memberikan solusi dan pengarahan yang akurat dan terbukti kebenarannya. Dalam setiap perdebatan, argumen yang kupakai diambil dari penjelasan Al-Quran. Karena Ia adalah referensi kehidupan setelah hadist."

    Junior termanggu. Ia telah menemukan kuncinya, tapi tak bisa mempergunakannya. Kitab tebal itu hampir tak pernah ia jamah. Karena keindahan warna covernya yang berwarna emas, Al-Quran hanya jadi pajangan antik di lemari kaca. Junior sadar, ternyata di dalamnya terdapat hal-hal berharga yang hanya dapat terkuak oleh orang-orang yang mempelajari dan memahaminya.

    "Aku selalu tenggelam dalam keindahan dan kesejukan tiap kali membacanya. Aku jatuh cinta pada Al-Quran. Mempelajarinya adalah bagian hidupku. Setiap dua hari sekali, aku mengkaji dan menghafal Al-Qur'an bersama seorang Ustadzah ditempat pengajianku. " sambung Khansa.

    Junior semakin terpaku. Betapa selama ini kesehariannya jauh dari nilai-nilai Al-Quran. Ia telah membentangkan jarak dengan petunjuk-petunjuk Tuhannya.

    Junior tertunduk, menenungi dirinya sendiri. Tarikan nuraninya muncul membuahkan satu tekad. Ia ingin menjadi manusia yang lebih berarti. Ingin memiliki pegangan jelas dalam hidupnya sehari-hari. Ia ingin mendalami Al-Quran seperti yang Khansa yang telah mendapat banyak kemudahan dan kebahagian.

    "Khansa, aku tertarik untuk belajar Al-Quran serta maknanya. Bolehkah aku ikut mengaji di tempat pengajianmu?'

    "Siapa yang melarang?" senyum Khansa terlihat seperti pelangi terbalik di mata Junior. Kembali menjadi The Master dengan Al-Quran sebagai perisai ketika debat, mengapa tidak? pikirnya. (RE)


    rahmitael@yahoo.com

    MENJARING MATAHARI

    By. : Rahmita El Jannati


    Tepuk riuh membahana mengisi aula seluar 30x40 meter itu, mengiringi langkah sosok kecil itu menuruni tangga panggung dan kembali ke tempat duduknya semula setelah menunjukan kepiawaiannya dengan percaya diri. Dadanya masih naik-turun, hela nafasnya terputus-putus, namun senyum tanpa suara terkembang begitu manis di bibirnya.

    Tepuk tangan mulai mereda diselingi suitan penonton dari belakang. Kepala sekolah, para guru, Paman Gunawan, dan teman-teman menampakkan binar di mata mereka. Tak terkecuali Chyntia dan Helda, dua sosok yang sering mendapat julukan Primadona Sekolah yang selama ini mengobarkan bara semangat di hadapan Aisyah. Bola mata mereka terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Aisyah hanya tersenyum, seakan menyambut penuh kekaguman itu. Ia pikir, itu hanya sebuah ekspresi kekaguman mereka belaka.

    Sejurus dengan berlangsungnya rest-time selama 30 menit, selama itu pula ada sesuatu yang berputar dalam benak Aisyah. Berputar seperti film dokumenter, dan sama persisnya dengan nyanyian melo wanita-wanita paruh baya yang mengalun lembut di aula.



    ***

    “Saya lihat, nilai-nilai Bahasa Inggris kamu selalu bagus. Kamu juga aktif ketika berlangsungnya proses Belajar Mengajar dalam pelajaran saya.”

    Mata hitam Pak Yudith begitu lekat menatap gadis yang duduk manis di depannya. Sebuah kerutan terukir di dahi gadis jilbaber tersebut. Ia masih menunggu kelanjutan kata yang akan keluar dari guru favoritnya. “Dan bicaramu juga fasih ketika tanya jawab dengan saya. Kamu …ngambil kursus Bahasa Inggris?”

    “Oh… tidak, Pak,” jawabnya refleks.

    “Lantas?”

    Pertanyaan lelaki berkumis tipis itu membuat Aisyah menceritakan sosok yang kini mulai menua. Dia adalah Paman Gunawan, adik ibu yang hidup dari usaha dan kerja keras sehingga ia menjadi orang yang berhasil dalam karirnya sebagai seorang guru namun tetap berselimutkan kebersahajaan dan kesederhanaan yang menentramkan siapapun yang berada di dekatnya. Aisyah masih ingat, sejak kecil ia sering mendapat buku paket Bahasa Inggris SD bekas dari pamannya, karena kurikulum yang dipakai dalam buku itu telah berubah sehingga ia harus membeli buku baru untuk diajarkan kepada murid-muridnya. Waktu luang Paman digunakan bersama si kecil Aisyah yang sering main dan menginap di rumah yang baru selesai ia bangun. Melihat potensi Aisyah yang cepat tanggap dan kata-katanya yang cas cis cus ketika melafalkan bahasa Inggeris, semangatnya semakin terpompa untuk mengajarkan ilmu yang ia miliki pada putri berumur tujuh tahun tersebut. Aisyah pun semakin rakus melahap bahasa yang menurut sebagian orang disebut sebagai ‘bahasa munafik’, karena kata yang diucapkan tak sesuai dengan bacaannya. Dan semua itu masih berlangsung sampai sekarang. Aisyah masih sering mengunjungi rumah pamannya untuk sekedar bertanya walaupun soal hal-hal kecil yang tak dimengertinya. Aisyah tak peduli, meski badannya basah bermandikan peluh karena harus berjalan di bawah terik matahari yang membakar kulitnya yang halus menuju rumah ‘ayah keduanya’ itu. Ia kadang menelan air ludahnya sendiri untuk mengusir haus. Mendapatkan ilmu yang ia peroleh, wajah hangat dan ramah yang terpancar dari Paman Gunawan beserta istrinya yang tak pernah dikaruniai anak, seakan telah menjadi kucuran air mineral yang lebih dari cukup untuk menjadi penawar bagi dahaga bathin yang selalu menderanya.

    “Aisyah, saya tertarik untuk memilihmu menjadi salah seorang peserta lomba. Kamu tinggal mencari bahan dan membuat naskahnya dari sekarang...”

    “Maaf, Pak. Maksud Bapak lomba apa, ya?” Untuk kali ini wajah Aisyah tampak terkejut.

    “Lho…kamu belum melihat di mading? Kan disitu tertempel... bla-bla-bla.”

    Aisyah tak lagi menggubris ucapan Pak Yudith. Ia menepuk dahinya sendiri. Ah kemana saja aku ini? Sejak kapan pecinta Mading melupakan madingnya? Oh my God!

    Wajar saja ia tak lagi sering mematung di depan Mading seperti biasa, karena sepekan ini sebagai sekertaris OSIS yang baru, ia begitu sibuk mengurus seluruh kegiatan OSIS terutama yang berhubungan dengan kegiatan Masa Orientasi Siswa Baru yang sebentar lagi akan digelar.

    All right, Sir! I wanna go to see wallmagazine first,” Aisyah beranjak dari duduknya. Pak Yudith mengangguk sembari menahan tawa melihat tingkahnya. “Be a winner!” katanya, sesaat sebelum gadis itu menghilang dari balik daun pintu kantor Dewan Guru.

    “Yap!” tawa tanpa suara tarukir di bibir Aisyah yang ranum. Matanya yang bak mata peri berkilatan di sela semangatnya yang tumpah. Siapapun akan terpana melihat rona pipi itu yang kini dipadu dengan gerakannya yang lincah menuju Mading. Matanya terus berbinar hingga selesai membaca pengumuman yang dimaksud.

    ***

    Perasaan Aisyah tak menentu. Wajahnya sekusut gulungan benang yang pasrah dipermainkan cakar kucing. Ia tarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Aisyah duduk di atas motor yang melesat membelah jalan yang berkelok penuh lubang, tak mampu bicara. Begitu juga Sauki, lelaki yang membonceng dara manis itu, bungkam seribu bahasa. Padahal, biasanya ia selalu menampakkan keagresifan yang lahir secara spontan bila bertemu dengan Aisyah. Mungkin perasaannya yang meluap-luap tengah membuncah di hatinya. Bagaimana tidak, kembang pujaan yang tak mau mengerti perasaan hatinya itu, akhirnya mau juga menerima “jasa antar jemput” yang sering ditolaknya dengan halus. Sekarang ia buktikan perasaan terpendam itu dengan kesetiaan mengantar Aisyah dari satu perpustakaan ke perpustakaan lain untuk mencari bahan pidato dengan susah payah selama dua hari terakhir.

    Aisyah bimbang. Ia kembali teringat pada kejadian singkat pada waktu istirahat tadi. Ketika ia hendak mengunjungi kantin sekolah, dari arah berlawanan melintas dua orang berambut lebat sepinggang dengan pita merah menyala. Mata mereka menatap nanar bak mata elang yang hendak mencabik kulit mangsanya.

    “Ih, masih kelas satu sudah belagu banget…”

    “Kok bisa-sisanya sih Pak Yudith milih dia buat ikut lomba….”

    Emang dia bisa mengharumkan nama sekolah kita? Mending juga kita-kita kali ya. Ha-ha-ha!”

    Sejuta kata yang menusuk itu belum hilang sampai mereka benar-benar berlalu. Nazma, sang sohib, menoleh ke wajah Aisyah. Ia fikir ada mendung di matanya. Namun air muka yang tenang melukiskan kesabaran dan senyum tipis penuh keikhlasan itu tampak jelas ia baca dibalik wajah innocent itu. Nazma tersenyum malu-malu.

    “Sabar ya, Aisyah. Tuhan memang menciptakan segala sesuatu itu berpasangan. Termasuk kebaikan dan kejahatan.” Hasya yang baru selesai menyipitkan matanya dari lenggok tubuh dua perempuan yang berseragam sempit dan superketat itu, menepuk-nepuk pundak Aisyah. Di mata Hasya, dua primadona itu tak lebih seperti pecundang yang merusak citra mereka sendiri.

    Namun berbeda di mata Aisyah. Dia merasa, mereka adalah sosok yang sudah mempunyai keinginan untuk unggul namun tidak diiringi dengan tekad dan usaha keras. Kemurkaan Hasya belum menguap. Ia mengeluarkan amarahnya lagi, dan... “ssstt” telunjuk Aisyah segera mendarat di bibir Hasya.

    ***

    Jantung Aisyah berdegup kencang. Keringat menyembul dari pori-pori dahinya, padahal peluh yang keluar ketika perjalanan pulang berlatih dari rumah Paman Gunawan, belum juga mongering. Ia baru saja mendapat kabar mengenaskan bahwa ibu terpeleset di kamar mandi ketika mencuci pakaian di rumah Bu Tarmi. Dahi ibu berdarah membentur tembok.

    “Ibu tidak apa-apa, Aisyah. Hanya berdarah sedikit saja, kok…” Ibu mencoba tersenyum, menghangatkan suasana yang menegang.

    “Syukurlah, Bu. Aisyah ambilkan air hangat, ya?”. Ibu mengangguk pelan.

    Setelah bapak berpulang setahun yang lalu, musibah demi musibah datang menghampiri. Ibu kini memikul sendiri berbagai masalah keluarga termasuk beban ekonomi yang terus menumpuk. Naluri keibuannya bangkit untuk menjadikan mereka tetap berdiri dalam deraan perih yang tiada pernah selesai. Ibu, dengan ketelatenannya tak pernah berhenti menyemangati anak-anaknya untuk tidak menyerah pada nasib, berlatih mandiri dan tidak bergantung pada siapapun kecuali pada Yang Maha Perkasa.

    “Aisyah, jika hidumu ingin berubah kamu sendirilah yang harus merubahnya, nak, meskipun hidup kita penuh kesulitan. Karena kesulitan itu akan memperbaiki jiwa sebesar kehidupan yang dirusaknya, dan kesenangan akan merusak jiwa sebesar kehidupan yang diperbaikinya. Jadilah orang yang berpegang teguh pada prinsip karena ia akan menjadi manusia yang tak tergoyahkan oleh kesulitan itu.” Untaian kata mutiara ibu merayap masuk hingga ke setiap denyut nadi, menggema dalam relung hatinya. Ibu, kau pantas mendapat gelar Srikandi bagi kehidupan kami. Tunggulah sampai saatnya tiba.

    Plass….

    “Hebat, Aisyah! Sempurna!” Tangan Feri, salah satu wakil dari SMU Pattimura mendarat di pundak Aisyah. Ia berhasil memporakporandakan isi CD yang tengah berputar dibenaknya.. Gadis itu menoleh kearahnya. Mulut Feri kembali terbuka, namun suaranya tak jua keluar karena MC berwajah indo’ di atas panggung sana mempersilakan Feri sebagai peserta berikutnya untuk memperlihatkan kemampuannya yang ia tekuni selama ini sebagai orator ulung di sekolahnya.

    Good luck, Feri!” ucap Aisyah sambil mengacungkan kepalan tangan kearahnya, memberi semangat. Kata-kata yang keluar dari mulut Feri begitu fasih, jernih dan teratur layaknya seorang warga Inggris yang tengah berpidato. Pengucapan huruf ‘R’ yang terkadang menjadi bahan ledekan teman-temannya, begitu membantu dalam Speech Contest kali ini.

    Kini giliran Aisyah berdiri di podium. Mata Aisyah terpejam. Ia menunduk. Pikirannya melayang menyergap sosok ibu dan kedua diknya di rumah. Di pelupuk matanya terbayang hadiah yang akan diterima dari perlombaan pidato antar SMU se-Daerah Khusus Ibu Kota itu. “Ya Allah…,” desisnya “... biarkan aku memberi sepercik kebahagiaan di hati ibu.” Kata demi kata ia ucapkan. Apa yang terjadi?

    Seakan terhipnotis, tak satupun penonton memalingkan muka, tak seorangpun audiens yang tak terbelalak untuk menjelajahi keindahan dan kelancaran pidato yang ia bawakan. Ternyata kemampuan Aisyah tidak jauh berbeda dari pemuda itu.

    Waktu terus berjalan, sampai semua perwakilan dari SMU mereka masing-masing memperlihatkan kebolehannya di panggung yang seperti sebuah singgasana di hati setiap yang menginjaknya. Pengumuman pemenang diumumkan seminggu setelahnya, tepat ketika rapot akhir semester dibagikan. Pada momen itu, seseorang akan menjadikan ayah ibu mereka serasa meledak jantungnya karena di sana detik-detik kepala sekolah akan mengumumkan siswa-siswa yang berhasil meraih prestasi terbaik di kelas masing-masing, dan siswa yang mempu mendobrak tembok yang menghadang untuk menjadi seorang juara umum. Dan yang terakhir karena apakah kedua peserta perwakilan SMU Setia Budhi akan berhasil membobol kejuaraan Speech Contest tahun ini, atau tidak sama sekali. Aisyah, gadis jilbaber itu serta Kharisma dari kelas sebelas yang sama-sama ikut dalam ajang spektakuler tersebut hanya bisa berdoa.... dan menunggu.

    ***

    Malam terus merangkak perlahan. Hanya detak jarum jam yang terdengar terus berputar, menyentuh angka-angkanya. Untaian kata-kata sastra yang sesak dengan makna itu memenuhi lembar-lembar kosong. Dengan gemulainya pulpen pink itu menari dan terus menari. Pemiliknya berharap lembar-lembar itu akan berubah menjadi lembar-lembar bergambar Soekarno. Dan dengan itu ia dapat segera memudahkan ibu untuk melunasi hutang-hutangnya.

    “Ah, selesai juga akhirnya”. Aisyah menarik nafas panjang, dan secara perlahan ia hembuskan lagi. Ia amati lagi karya tulisnya, mencari kesalahan yang ia harap dapat menemukannya untuk segera ia betulkan. Namun nihil. Tulisannya sempurna, mengalir tanpa cacat. Ia lirik wajah Farah yang pulas dalam pangkuannya. Memandangnya dalam beberapa detik dan mengecup lembut adik bungsunya itu. Mata beningnya kembali menerawang. Di benaknya, bukan kasur yang harusnya ia tempati kini, namun tentang masa depan. Mampukah ia memasuki ruang kuliah dengan bangku berderet rapih seperti kebanyakan cerita kakak teman-temannya itu? Terbayang begitu anggunnya ia mengenakan baju serba putih dengan membawa stetoskop ketika ia mengobati pasien-pasienya. Ia tak ingin hanya berfantasi, rasa kantuk itu tak berani mengalahkan matanya.

    Ia raih buku paket yang telah ia pinjam dari perpustakaan sekolah. Membukanya secara perlahan. Ia kerutkan dahi. Buku Biologi itu menemaninya di sepertiga malam ini sampai pada waktu nuraninya digedor-gedor oleh emosi jiwa untuk tunaikan shalat malam. Emosi cinta, taat dan kepasrahan kepada Allah, berbaur disana.

    ***

    Tepuk riuh itu membahana lagi, ciptakan horizon yang membiru. Memang bukan di aula seperti kemarin, tapi di lapangan sekolah yang ditutupi oleh tenda agar hadirin yang datang tidak merasakan sengatan matahari. Rapot berwarna hijau itu dipegang lekat-lekat di tangannya. Berpuluh-puluh pasang mata menatap. Semua menyaksikan ia berdiri di atas panggung. Kakinya bergetar, dadanya berdebar. Apalagi setelah ia mendengar namanya sendiri dipanggil sebagai juara pertama Speech Contest se-Jakarta itu. Pak Ansyurullah, Kepala Sekolah SMU Setia Budhi berdiri kehadapannya sambil membawa Piagam di kedua tangannya. Beliau menyerahkan lembar eksklusif itu pada Aisyah. Dengan perasaan yang tak mampu dilukiskan, jemarinya menyambut piagam itu. Bu Dharma beranjak menuju panggung, menyerahkan tanda bukti bahwa ia berhak menerima hadiah sebesar lima juta rupiah. Hati Aisyah semakin berisik mengucap asma-Nya. Ia ingin terus mengingat Allah untuk meneguhkan hatinya menerima uang sebesar itu. Ia seakan tak percaya, namun nyatanya kini bukti itu ada di tangannya.

    Gigi Aisyah bergemeletuk menahan kristal-kristal hangat yang turun dari ujung matanya. Hadirin dari pojok ke pojok dengan antusias memandanginya. Ia dapat menangkap semua sorot bangga dari bola mata mereka. Perlahan jabat tangan terjalin antara dia dan teman-temannya yang sama-sama peraih juara kelas. Nazma, sang juara umum ikut memeluknya dengan erat. Angka 1 yang berdiri gagah di kolom peringkat dalam raportnya, sebuah piagam bertanda tangan Gubernur, dan hadiah uang telah menjadikan dirinya paling bahagia di dunia ini.

    Namun ada satu yang kurang: ibu. Sorot mata ibu yang ia impikan hadir di tempat ini. Aisyah mendesah. Ibu dengan berat hati tak bisa menghadiri peristiwa bersejarah ini. Tadi pagi Farah harus diperiksa intensif karena serangan demam berdarah.

    “Tak apa ….” gumamnya, “aku akan mendapat sorot mata bangga itu di rumah.”

    ***

    “Aisyah,” panggil seseorang dari belakang. Aisyah tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi bak deretan biji jagung ketika mata mereka beradu.

    “Selamat, ya…” Dua gadis itu menyentuh jemari lentik Aisyah bergantian, kemudian menjadi sebuah genggaman yang erat.

    “Terima kasih Kak Helda, Kak Chyntia….” Senyum Aisyah tak berhenti berkembang. Jilbab putihnya berkelebat.

    “Teruskan prestasimu, Aisyah. Kau benar-benar hebat! So cool….” Chyntia mencubit pipi Aisyah, gemas. Bukan karena gregetan seperti waktu lalu, melainkan karena salut yang tak tertahankan pada adik kelasnya tersebut.

    “Syah, kok mereka tiba-tiba bisa berubah menjadi seperti malaikat, sih?” tanya Nazma setelah mereka berlalu. Aisyah hanya tersenyum dikulum. Menyiratkan sejuta misteri yang tak mampu Nazma pecahkan.

    “Aku yakin, suatu saat api itu akan mengalah pada sejuknya air….” Jawaban singkat itu dapat membuat semuanya menjadi terang. Nazma dapat membaca bahwa Aisyah telah berhasil meluluhkan hati mereka. Ia tak kuasa untuk tidak memeluk Aisyah. Kaulah primadona yang sesungguhnya….

    “Aisyah, aku akan mendukungmu untuk maju pada perlombaan Speech Contest tingkat nasional bulan depan!” sambar Hasya. Nada suaranya bersemangat seperti Bung Tomo, tokoh legendaris yang mampu membakar semangat rakyat. “Bukankah begitu Pak?”

    “Ya, benar. Persiapkan dirimu untuk berlomba ditingkat nasional, Aisyah!” Sahut Pak Yudith.

    Oh,Tuhan! Nikmat dan karunia-Mu tak mampu tertampung walau disimpan pada luasnya bumi. Ya, aku harus terus berjuang. Aku harus terus berusaha unuk menjaring matahari yang kelak akan ku genggam!

    Mauk, 2 Juli 2008

    , , ,

    Salah kostum, jalanan macet berat, masuk ke lingkungan baru, atau nggak tahu mau ngapain. Kalau kamu sempat mengalami kejadian-kejadian seperti ini, selamat ya... Ini artinya kamu memang pernah mati gaya.

    Buat kita, mati gaya mungkin punya sejuta arti. Misalnya, seperti yang dialami Sulaiman Surya pas melihat gelagat aneh teman akrabnya ketika berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan. Tiba-tiba saja, temannya membisikkan bahwa dia melihat kekasihnya sedang berjalan dengan pria lain. ''Pantes aja lu mati gaya,'' kata Sulaiman.

    Benar saja, setelah melihat kejadian itu, temannya langsung salah tingkah dan bingung mau ngapain. Terakhir, dia malah memilih menghindar biar tidak bertemu dengan kekasihnya itu.

    Selain linglung dan tidak tahu harus berbuat apa, kata cowok yang biasa dipanggil Leman ini, mati gaya juga bisa berarti 'saltum' alias salah kostum. ''Pernah waktu itu teman gue ke sekolah pakai baju bebas dan sandal jepit. Padahal, sekolah masih mengharuskan untuk pakai seragam, langsung aja dia mati gaya dan tidak boleh masuk sekolah,'' ujar siswa SMU 80 Jakarta itu. ''Tapi, dia malah senang karena nggak perlu datang ke sekolah.''

    Kalau Dwi Windyas Putri lain lagi. Dia bilang, mati gaya itu kalau ada orang yang ingin banget eksis di depan orang banyak, tapi pakaiannya nggak mendukung. ''Seperti waktu temen gue ngadain pesta yang dress code-nya modern, tapi ada yang datang pakai baju ala 80-an. Dia langsung kehabisan kata-kata,'' ujar Windy.
    Riani Surahman langsung menyahut waktu ditanya soal mati gaya. ''Yang cupu kayak orang desa gitulah.''

    Kalau dia langsung ngeh, ini juga gara-gara Riani punya pengalaman pribadi. Dulu, pas masih SMP, Riani mengaku sering merasa mati gaya. Gara-garanya, dia belum bisa padu padan busana, sehingga apa yang dia kenakan setiap hari menjadi monoton. ''Gaya gue itu-itu aja.''

    Bukan cuma soal gaya, Riani juga mengaku kalau suka sama lawan jenis juga bikin dia mati gaya. ''Waktu itu pernah ketemu cowok yang gue suka, tapi dia justru pasif dan biasa aja, gue malah jadi salah tingkah dan mati gaya.''

    Untuk Namiera Rizkiana, mahasiswi Sastra Prancis UGM, istilah mati gaya sudah lama banget dipakai. Kalau dia merasa bosan, suntuk, dan tidak tahu yang harus dikerjakan, itulah saatnya dia mulai mati gaya. ''Mau ngapa-ngapain malas, karena nggak ada teman.''

    Penyebabnya, kata cewek yang lebih akrab disapa Mira ini, bisa apa saja. Mulai dari pakaian sampai soal hubungan khusus dengan seseorang. Ujung-ujungnya bisa ditebak, dong. Yup, benar banget, jadi mati gaya...

    Seperti kenangan Mira untuk sang mantan. ''Pernah waktu itu sudah lama banget nggak ketemu sama mantan yang ada di Inggris, tapi pas ketemu dia jadi ganteng banget. Aku justru jadi nggak tahu mau ngapain. Akhirnya, pertemuan itu hanya jadi seperti kondangan aja, penuh basa-basi.''


    Sulaiman Surya
    Siswa Kelas II SMU 80, Jakarta

    Gue sih belum pernah mengalami mati gaya. Kata teman-teman, mereka bakal mati gaya kalau nggakgue. Katanya, mereka jadi garing.
    Kalau gue, biar nggak mati gaya, pandai melihat keadaan, mencari tahu dengan bertanya-tanya tentang sebuah acara yang akan dihadiri, dan pintar membawa diri. Sebenarnya, inti mengatasi mati gaya itu, jangan ambil pusing dengan sebuah keadaan. Enjoy aja.


    Dwi Windyas Putri
    Siswi kelas I SMU 80, Jakarta

    Biar nggak mati gaya, ikuti alur dari sebuah acara atau pertemuan. Berusaha membaur. Jangan lupa, tetap percaya diri.


    Riani Surahman
    Siswi Kelas II SMEA Santo Lukas, Jakarta

    Mati gaya sepertinya lebih sering dialami cowok deh. Soalnya, kadang cowok yang belum pernah dekat dengan cewek terus berusaha mau deketin, justru jadi janggal dan menurut gue jadi mati gaya.
    Supaya jangan mati gaya, kita harus punya modal pengetahuan yang luas. Tapi, yang penting, kalau kita banyak duit, kita bisa ngapain aja dan nggak mungkin mati gaya.


    Namiera Rizkiana
    Mahasiswi Sastra Prancis UGM

    Mati gaya? Pernah banget. Misalnya, saat presentasi tugas di depan kelas, beberapa kali aku merasa mati gaya. Sudah menjelaskan menggebu-gebu penuh semangat, tapi pas ditanya dosen malah nggaktulalit.
    Tapi, kalau seseorang pintar ngeles, sehingga bisa membalik keadaan yang tidak menguntungkan dan murah senyum, ini bisa menjadi obat untuk menghadapi situasi sulit seperti apa pun. Dan, tetap percaya diri, itu harus.


    Jurus Ampuh 'Gaya' Terus

    Kalau mau jujur, mati gaya itu bisa terjadi pas kita benar-benar mentok, nggak tahu mau bersikap, atau lagi malu berat. Sebenarnya, ada cara yang ampuh biar jangan pernah mati gaya. Atau, paling nggak dikurangi, deh. Ada jurusnya dan mudah saja kok.
    Mau tahu? Kasih dahh...

    * Padu padan
    Ini bisa dibilang jurus murah meriah biar tidak mati gaya untuk urusan baju. Dengan kiat padu padan, kamu bisa punya koleksi pakaian banyak dengan jumlah terbatas. Caranya, mulai mengoleksi busana berwarna klasik plus aksesori sewarna seperti hitam, putih, atau cokelat. Lengkapi dengan syal atau rompi senada juga bisa menambah banyak gaya.

    * Rajin baca
    Untuk apa? Biar wawasan kita luas, dong. Nah, kalau kita punya wawasan luas, pas ketemu orang baru atau tiba-tiba masuk ke suasana baru jadi nggak perlu salah tingkah atau nggak tahu mau ngomong apa. So, rajin-rajin baca buku, koran, atau majalah. Cari informasi lebih banyak lewat internet atau televisi juga nggak salah...

    * Lebih teliti
    Ini berlaku untuk urusan dress code kalau mau datang ke satu acara. Jangan sampai 'saltum'. Selain itu, bisa juga untuk urusan sekolah atau kuliah. Jangan sampai ada pelajaran atau mata kuliah yang mendadak ujian yang bisa bikin kamu bukan cuma mati gaya, tapi mati kutu.

    * Rileks aja...
    Terjebak macet? Tidak perlu linglung... Kalau memang jalanan macet berat, yah nikmati saja. Dengar lagu, ngobrol, atau ingat-ingat hafalan kemarin sepertinya lebih bermanfaat daripada ngamuk-ngamuk nggak keruan. c62
    ada bisa jawab, malah


Top