Kelas X

Kelas XI

TABZIR DAN MUBAZIR SAUDARA SYETAN

07 Nov 2016

Kelas XII

Prestasi Siswa

Long Live "Humanity Holic"!!!

Catatan Aktifisassalamu alaikum....Hai semua, pa kbr?Berhubung t...

  • 22 Aug 2010
  • 0

HIDUP INDAH DENGAN TAWAKAL

Secara bahasa tawakal atau tawakkul (bahasa arab) berasal dari kata kerja “tawakala”, artinya“ bersandar atau berserah diri. 

Seseorang disebut berserah jika ia merasa tenang kepada yang diserahi, percaya, dan tidak curiga serta tidak meyakini bahwa orang yang diserahi mampu dan tidak sembrono terhadap apa yang diserahkan. Demikian juga terhadap Allah.

Tawakal kepada Allah SWT berarti kondisi dalam diri yang mendorong untuk menyandarkan/menyerahkan urusan kepada Allah SWT. Orang yang tawakal kelihatan tenang tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepadaNya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.

Menurut Abu Zakaria al-Ansari, tawakal ialah keteguhan hati dalam
menyerahkan urusan kepada yang lain. Sifat yang demikian itu terjadi sesudah
timbul rasa percaya kepada yang diserahi urusan tadi. Artinya, ia betul-betul
mempunyai sifat amanah (terpercaya) terhadap apa yang diamanatkan dan
ia dapat memberikan rasa aman terhadap orang yang memberikan amanat
tersebut. Oleh karena itu tawakal kepada Allah merupakan suatu sikap
mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada
Allah, bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya, Allah lah yang
menakdirkan segala sesuatu, maha kuasa melakukan apa saja, dan maha
perkasa serta maha memaksa. Apa yang dikehendaki Allah pasti terwujud.
Jika sikap mental seperti ini benar-benar tertanam dalam diri maka akan
melahirkan prilaku tawakal.

Perilaku orang yang tawakal berbeda-beda menurut kadar keyakinannya: 
Orang yang mencapai tingkat keyakinan sempurna maka sama sekali tidak bekerja, urusan rezki ia mengandalakan jaminan Allah. Orang seperti ini disebut telah sampai pada maqom tajrid, yaitu tingkat seseorang yang sama sekali tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, karena yakin Allah telah menjamin segalanya.

Orang yang belum mencapai maqom tajrid disebut maqom asbab. Yaitu: orang yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya harus melakukan usaha (sabab) yaitu bekerja. Orang maqam asbab harus bekerja, tidak boleh berpangku tangan pasarah kepada Allah SWT dalam memenuhi kebutuhannya.

Justru orang yang tawakal bagi maqom asbab ini akan rajin berusaha dan bekerja, akan tetapi menyandarkan semua hasilnya hanya kepada Allah SWT, tidak kepada yang lain. Karena faktanya Allah memenuhi kebutuhan seseorang melalui perantara-perantara. Orang bisa kenyang melalui makan, sekalipun Allah kuasa menciptakan rasa kenyang tanpa makan. Orang dapat uang, harta dan kesempatan melalui bekerja. Maka kita pun harus melakukan usaha yang maksimal namun tidak boleh mengandalkan usahanya itu, tapi harus menyandarkan kepada takdir dan irodah Allah SWT.

Dengan demikian kita tidak menjadi sombong jika berhasil, karena merasa yang menentukan keberhasilan adalah Allah. Juga tidak merasa sedih jika gagal, karena yakin bahwa kegagalan juga takdir Allah SWT. Sedangkan hal yang terbaik adalah apa yang dipilihkan Allah SWT bagi kita melalui takdir dan irodahNya.Karena itu orang yang pandai bertawakal hatinya akan selalu tenang dan bahagia, tidak galau dan panik menghadapi kesusahan.

b. Dalil Naqli Tentang Tawakal
Allah SWT berfirman
Artinya:“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
Maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang
yang bertawakal kepada-Nya.”( QS.Ali Imran (3): 159).

Ayat ini menunjukkan bahwa sikap tawakal harus dilakukan setelah adanya upaya optimal dan maksimal untuk mewujudkan hal yang diinginkan, setelah itu hasilnya ditawakalkan kepada Allah SWT.

c. Contoh Tawakal
Seseorang yang meletakkan sepeda di muka rumah, setelah diku nci rapat, barulah ia bertawakal. Pada zaman Rasulullah saw ada seorang sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat lebih dahulu. Ketika ditanya, mengapa tidak diikat, ia menjawab, “Saya telah benar-benar bertawakal kepada Allah”.
Nabi saw yang tidak membenarkan jawaban tersebut berkata, “Ikatlah dan setelah itu bolehlah engkau bertawakal.”


Tidak ada komentar:

Write a Comment

Pendapat Kami

Profil

Artikel

Inspiratif

Agama

Mapel