,

    Tamak adalah mengharapkan apa yang dipunyai orang lain dengan tanpa hak. Orang tamak selalu mengharap pemberian orang lain, dengan tanpa alasan. 

    Jika mengharap sesuatu dari orang lain karena ada alasan yang benar, misalnya mengharap upah dari transaksi sewa, jasa, jual beli dan sebagainya maka bukan termasuk sikap tamak. Sikap seperti ini didorong oleh perasaan tidak puas terhadap apa yang dimiliki. Tidak yakin bahwa semua sudah diatur dengan qoḍā’ dan takdir Allah SWT. Sehingga harapannya digantungkan kepada orang lain bukan kepada Allah SWT. Orang yang tamak selalu merasa bahwa harta kekayaan yang dimilikinya selalu kurang dan tidak mau bersyukur kepada Allah SWT.

    Orang yang tamak tidak pernah hidup dengan puas, damai dan tentram.
    Ia selalu gelisah karena dipermainkan oleh keinginan-keingianan yang tidak
    pernah putus. Akibatnya hidupnya diperbudak oleh keinginan dunia sehimgga
    menjadi hina dan dipandang rendah oleh masyarakat.
    Sikap tamak juga muncul karena tidak merasa puas terhadap apa yang
    ada, dan tidak bisa menerima terhadap kesederhanaan dalam makan, minum
    dan berpakaian. Keinginannya terlalu tinggi dari kemampuannya. Sehingga
    mendorong sikap mengharap pemberian orang lain, meminta, bahkan
    merendahkan diri dihadapan orang kaya demi mendapatkan sesuatu. Tidak
    mau berusaha dan bekerja dengan optimal, lebih suka berpangku tangan.

    b. Dalil-Dalil Tentang Tamak
    Dalam Al-Qur’an, terdapat keterangan masalah rakus atau tamak, antara lain pada surah Al-Baqarah ayat 96 yaitu :

    Artinya : “ Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari pada orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah : 96)

    Begitu juga dalam hadits, antara lain disebutkan:

    Artinya: 
    Rasulullah saw bersabda: Hai manusia, berbaik-baiklah dalam mencari (nafkah); karena sesungguhnya hamba tidak mendapatkan (sesuatu), kecuali apa yang telah ditakdirkan padanya.” (HR. Al-Ḥākim).

    Hadits ini menjelaskan bahwa semua yang diterima oleh manusia sudah diatur dan sudah ditetapkan olah Allah SWT, karena itu tugas manusia adalah memperbaiki usaha/pekerjaan yang dilakukannya sesuai aturan Allah SWT, sehingga prilaku dalam bekerjanya teratur dan indah.

    c. Cara menghindar dari sifat tamak
    Pada dasarnya manusia memiliki sifat tidak puas. Karena itu mudah bersikap tamak. 
    Agar terhindar dari sikap tamak, maka perlu melakukan hal-hal sebagai berikut ;

    1. Bersikap sederhana dalam kehehidupan, berpakaian, makan dan minum. Orang yang bermewah-mewah dalam hidup maka akan besar pengeluaran. Orang yang pengeluarannya besar maka sulit bersikap qanaah. Hal ini akan mendorong bersikap mengharap apa yang dipunyai orang lain.
    2. Memantapkan keyakinan bahwa rizki yang ditakdirkan Allah pasti akan sampai pada dirinya sekalipun tidak serakah.
    3. Menyadari bahwa pada sikap qanāāh terdapat kemuliaan dan harga diri, dan pada sikap tamak dan serakah menimbulkan kehinaan di mata orang lain.
    4. Banyak merenungkan keburukan prilaku orang-orang yang tamak dan serakah, serta merenungkan cerita kebaikan prilaku para wali dan para nabi yang mulia itu. Kemudian menentukan pilihan, kepada siapakah kita akan meneladani. Sehingga dengan demikian kita akan merasa ringan bersikap sederhana dan menerima apa yang dimiliki. Tidak menginginkan apa yang ada pada orang lain.
    5. Dalam urusan dunia, memandang orang yang lebih rendah, dan memandang kepada oang yang lebih tinggi dalam urusan akhirat.

    ,


    Secara bahasa serakah berarti selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki. Sedangkan menurut istilah serakah adalah suatu perbuatan seseorang tidak pernah merasa cukup dengan apa yang dimiliki, sehingga terdorong menghalalkan segala cara untuk menambah apa yang dimilikinya. 

    Orang serakah tidak pernah merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Dia selalu merasa kurang. Meskipun dia mempunyai uang, kedudukan, dan banyak kelebihan yang dimiliki, dia tetap merasa kurang. Akhirnya, dengan keserakahannya dia selalu berusaha mendapatkan apa yang dimiliki orang lain.


    Bagaimanapun caranya dia berusaha menempuhnya. Manusia memiliki sifat serakah dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah dimilikinya.Serakah akan berakhir bila manusia sudah masuk dalam liang kubur.

    Adapun ciri-ciri orang serakah, antara lain tidak mau berbagi atau pelit, selalu menginginkan bagian paling banyak, rakus terhadap dunia, tidak peduli terhadap kepentingan dan penderitaan orang lain.

    Sifat serakah muncul karena terlalu cinta dunia dan memiliki angan-angan
    yang panjang hingga terlalu memikirkan nasib anak keturunannya. Keinginan
    satu telah tercapai namun masih menginginkan terus yang lebih besar dari
    yang didapatkan. Keinginannya terhadap duniawi tidak pernah berhenti. Ia
    menganggap bahwa kekayaannya akan mengekalkan hidupnya. Padahal hidup
    di dunia itu terbatas. Semua yang difikirkan ditujukan untuk kesenangan di
    dunia. Tidak sadar bahwa dunia akan berakir dan berganti alam akhirat. Di
    alam akhirat kelak, tidak ada gunanya lagi harta kekayaan yang ditumpuk
    selama di dunia, bahkan akan menambah kesengsaraan karena beratnya
    hisab/ perhitungan amal dan kekayaan oleh Allah. Setiap kekayaan yang
    dianugrahkan oleh Allah kepadanya, akan diminta pertanggungjawaban dan
    ditanyakan; dari mana kekayaannya dulu di dapatkan dan untuk apa harta itu
    dibelanjakan. Jika ia bisa menjawab dengan baik dan benar, maka selamatlah
    ia, dan jika tidak bisa mempertangungjawabkan maka kekayaannya akan
    melemparkan ia ke dalam neraka.

    Jika pemahaman seperti ini masuk dalam keyakinan diri seseorang, maka orang tersebut tidak akan serakah. Ia akan hati-hati dalam bekerja untuk mendapatkan harta, dan tidak sembarangan dalam membelajakannya. Takut kalu kekayaannya justru menjadi fitnah kelak di akhirat. Allah SWT. telah mengingatkan bahayanya mengumpulkan harta kekayaan dalam surat Humazah sebagai berikut;

    1. Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,
    2. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung,
    3. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya,
    4. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke
    dalam Huthamah.
    5. Dan tahukah kamu apa Huṭamah itu?
    6. (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan,
    7. Yang (membakar) sampai ke hati.
    8. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka,
    9. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.

    Yang dimaksud dengan mengumpulkan harta adalah mengumpulkan dan menghitung-hitung harta yang karenanya dia menjadi kikir dan tidak mau menafkahkannya di jalan Allah. Ayat ini menunjukkan larangan mengumpulkan kekayaan. Hal ini karena didorong oleh pemahaman yang salah bahwa harta kekayaan itulah yang mengekalkannya. Padahal tidaklah demikian.

    b. Dalil tentang serakah
    Dalam Al-Qur’an, terdapat penjelasan masalah serakah, antara lain pada surah Al-Baqarah ayat 96 yaitu :

    dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, Padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS.Al-Baqarah: 96)

    c. Cara menghindari Serakah
    Ada beberapa hal yang dapat dilakukan agar terhindar dari sifat serakah, diantaranya;

    - Memantapkan keyakinan bahwa hidup di dunia ini tidak kekal, tapi terbatas dan singkat, dan hidup yang sesungguhnya adalah hidup di akhirat yang kekal.
    - Memantapkan keyakinan bahwa semua harta kekayaan akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat.
    - Membiasakan diri mensyukuri setiap karunia dari Allah SWT., dengan cara mengunakannya untuk hal yang diridloi Allah SWT.
    - Menanamkan dalam hati sifat qonāāh, menerima pemberian Allah.
    - Tidak membanding-bandingkan nikmat yang dimiliki orang lain dengan diri sendiri
    - Mengingat azab Allah SWT, bagi orang yang memiliki sifat serakah 
    - Tidak melupakan kehidupan akhirat yang lebih kekal atau abadi. 

    ,

    Pengertian ikhlas, menurut bahasa berarti murni, tidak bercampur dengan yang lain.

    Dalam kontes ini ikhlas berarti amal yang hanya karena Allah SWT, tidak bercampur dengan dorongan pujian, harta, hal kesenangan duniawi lainnya.

    Pengertian ikhlas menurut istilah adalah: menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala kesenangan individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatar belakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat.

    'Izzuddin bin Abd as-Salām berpendapat bahwa: 
    “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.

    Al-Harawi mengatakan: 
    Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda. Atau seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”.

    Amal dengan ikhlas ibarat jasad dengan ruh. Suatu amal tidak disertai ikhlas sama dengan jasad tanpa ruh. Jika kita melakukan shalat, syarat dan rukunnya lengkap namun tidak ikhlas, ibaratnya seperti kita menghadiahkan hewan sapi yang lengkap anggota badannya kepada presiden atau orang yang paling kita hormati, namun tidak mempunyai ruh alias bangkai. Maka dianggap penghinaan, dan sangat tidak layak, Bapak presiden pun tidak akan menerimanya. Demikiaanlah ibarat amal yang kita persembahkan kepada Allah SWT.

    Pahala suatu amal tergantung kepada dorongannya. Kalau amal didorong karena Allah SWT atau untuk kenikmatan akhirat maka akan mendapat pahala di akhirat kelak. Jika dorongan amal hanya untuk kesenangan nafsu atau kenikmatan duniawi maka di akhirat kelak tidak mendapatkan pahala
    sama sekali, bahkan berdosa. Dan jika dorongan amal bercampur antara karena Allah SWT dan untuk duniawi sekaligus maka menurut para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama menyatakan tetap mendapat pahala namun dikurangi kadar niat dorongan duniawinya. Ulama lain menyatakan tidak akan mendapat pahala di akhirat sama sekali.

    b. Dalil naqli tentag Ikhlas
    Termaktub pada Q.S. Al-An’am/6: 162-163;
    Artinya ;


    “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

    Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.
    (Q.S. Al-An'am: 162-163).

    Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkan agar hidup dan kehidupan ini dipersembahkan untuk mencari ridla Allah, bukan untuk memuaskan kesenangan nafsu. Mencari ridla Allah dilakukan dengan segala sesuatu dengan baik sesuia syariat sebagaimana yang diajarkan para ulama yang shaleh.

    c. Contoh ikhlas
    Rasa ikhlas itu sangat sulit dan rumit. Yang mengetahui hanya Allah dan kadang tidak kita sadari. Contohnya adalah sebagai berikut; dikisahkan ada seorang ‘alim yang selalu shalat di shaf paling depan. Suatu hari ia datang terlambat, maka ia mendapat shalat di shaf kedua. Di dalam benaknya terbersit rasa malu kepada para jama’ah lain yang melihatnya. Maka pada saat itulah, ia menyadari bahwa sebenarnya kesenangan dan ketenangan hatinya ketika shalat di shaf pertama pada hari-hari sebelumnya disebabkan karena ingin dilihat orang lain.

    D. PERILAKU ORANG YANG SYUKUR, DERMAWAN, IKHLAS, TAWAKAL

    Dengan memahami ajaran Islam berkaitan dengan akhlak terpuji ini, sebagai pelajar sebaiknya kita memiliki sikap sebagai berikut;

    1. Bersikap menghargai sekecil apapun anugerah dari Allah SWT, tidak menyianyiakannya. Pergunakan anugerah itu untuk melakukan kebaikan, jangan sampai menggunakan anugerah itu untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Dengan demikian kita termasuk orang yang bersyukur. Allah akan menambah kebaikan itu terus menerus.

    2. Peduli kepada orang lain. Berilah bantuan kepada orang lain, sebelum diminta agar harga diri orang tersebut terjaga dan tidak turun gara-gara meminta. Karena tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Orang peminta harga dirinya akan turun.

    3. Rajinlah berusaha semaksimal mungkin, hasilnya serahkan kepada Allah SWT yang maha kuasa. Apapun yang ditakdirkan setelah kita berusaha itulah yang terbaik menurut Allah SWT. Jangan bersedih, putus asa dan hancur diri ketika gagal.

    4. Semua yang kita lakukan dari kebaikan sekeci apapun, niatkanlah dengan baik yaitu untuk Allah SWT atau untuk kebahagiaan di akhirat kelak. Hindari beramal hanya menuruti kesenangan nafsu atau tujuan duniawi.

    ,

    Secara bahasa tawakal atau tawakkul (bahasa arab) berasal dari kata kerja “tawakala”, artinya“ bersandar atau berserah diri. 

    Seseorang disebut berserah jika ia merasa tenang kepada yang diserahi, percaya, dan tidak curiga serta tidak meyakini bahwa orang yang diserahi mampu dan tidak sembrono terhadap apa yang diserahkan. Demikian juga terhadap Allah.

    Tawakal kepada Allah SWT berarti kondisi dalam diri yang mendorong untuk menyandarkan/menyerahkan urusan kepada Allah SWT. Orang yang tawakal kelihatan tenang tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepadaNya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.

    Menurut Abu Zakaria al-Ansari, tawakal ialah keteguhan hati dalam
    menyerahkan urusan kepada yang lain. Sifat yang demikian itu terjadi sesudah
    timbul rasa percaya kepada yang diserahi urusan tadi. Artinya, ia betul-betul
    mempunyai sifat amanah (terpercaya) terhadap apa yang diamanatkan dan
    ia dapat memberikan rasa aman terhadap orang yang memberikan amanat
    tersebut. Oleh karena itu tawakal kepada Allah merupakan suatu sikap
    mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada
    Allah, bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya, Allah lah yang
    menakdirkan segala sesuatu, maha kuasa melakukan apa saja, dan maha
    perkasa serta maha memaksa. Apa yang dikehendaki Allah pasti terwujud.
    Jika sikap mental seperti ini benar-benar tertanam dalam diri maka akan
    melahirkan prilaku tawakal.

    Perilaku orang yang tawakal berbeda-beda menurut kadar keyakinannya: 
    Orang yang mencapai tingkat keyakinan sempurna maka sama sekali tidak bekerja, urusan rezki ia mengandalakan jaminan Allah. Orang seperti ini disebut telah sampai pada maqom tajrid, yaitu tingkat seseorang yang sama sekali tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, karena yakin Allah telah menjamin segalanya.

    Orang yang belum mencapai maqom tajrid disebut maqom asbab. Yaitu: orang yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya harus melakukan usaha (sabab) yaitu bekerja. Orang maqam asbab harus bekerja, tidak boleh berpangku tangan pasarah kepada Allah SWT dalam memenuhi kebutuhannya.

    Justru orang yang tawakal bagi maqom asbab ini akan rajin berusaha dan bekerja, akan tetapi menyandarkan semua hasilnya hanya kepada Allah SWT, tidak kepada yang lain. Karena faktanya Allah memenuhi kebutuhan seseorang melalui perantara-perantara. Orang bisa kenyang melalui makan, sekalipun Allah kuasa menciptakan rasa kenyang tanpa makan. Orang dapat uang, harta dan kesempatan melalui bekerja. Maka kita pun harus melakukan usaha yang maksimal namun tidak boleh mengandalkan usahanya itu, tapi harus menyandarkan kepada takdir dan irodah Allah SWT.

    Dengan demikian kita tidak menjadi sombong jika berhasil, karena merasa yang menentukan keberhasilan adalah Allah. Juga tidak merasa sedih jika gagal, karena yakin bahwa kegagalan juga takdir Allah SWT. Sedangkan hal yang terbaik adalah apa yang dipilihkan Allah SWT bagi kita melalui takdir dan irodahNya.Karena itu orang yang pandai bertawakal hatinya akan selalu tenang dan bahagia, tidak galau dan panik menghadapi kesusahan.

    b. Dalil Naqli Tentang Tawakal
    Allah SWT berfirman
    Artinya:“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
    lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
    tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah
    mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
    mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
    Maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang
    yang bertawakal kepada-Nya.”( QS.Ali Imran (3): 159).

    Ayat ini menunjukkan bahwa sikap tawakal harus dilakukan setelah adanya upaya optimal dan maksimal untuk mewujudkan hal yang diinginkan, setelah itu hasilnya ditawakalkan kepada Allah SWT.

    c. Contoh Tawakal
    Seseorang yang meletakkan sepeda di muka rumah, setelah diku nci rapat, barulah ia bertawakal. Pada zaman Rasulullah saw ada seorang sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat lebih dahulu. Ketika ditanya, mengapa tidak diikat, ia menjawab, “Saya telah benar-benar bertawakal kepada Allah”.
    Nabi saw yang tidak membenarkan jawaban tersebut berkata, “Ikatlah dan setelah itu bolehlah engkau bertawakal.”

    ,

    Dermawan secara bahasa merupakan terjemahan bahasa arab dari kata sakhā’. Sakha’/dermawan merupakan sikap tengah antara boros dan kikir.

    Menahan harta pada situasi yang semestinya harus memberi, disebut kikir. Sedang memberi harta dalam situasi yang semestinya harus ditahan adalah boros. Dermawan adalah memberikan harta dengan senang hati dalam kondisi memang wajib memberi, sesuai kepantasannya dengan tanpa mengharap imbalan dari yang diberi. Baik imbalan berupa pujian, balasan, kedudukan, ataupun sekedar ucapan terima kasih. Jadi seseorang disebut dermawan jika memberi secara tulus ikhlas. Orang yang memberi karenan ingin balasan dari pihak yang diberi bukanlah dermawan tapi disebut berdagang. Sebab ia seolah-olah membeli balasan berupa pujian, kedudukan, ucapan terima kasih dan lainnya dengan hartanya.

    Adapun kondisi yang menuntut wajib memberi bisa disebabkan karena
    kewajiban agama juga karena untuk menjaga muru’ah (kehormatan diri).
    Kewajiban agama misalnya membayar zakat, memberi nafkah kepada
    keluarga, istri, anak, kedua orang tua, membayar hutang, menolong orang
    yang dalam kondisi darurat dan lain-lain. Kewajiban muru’ah adalah
    kewajiban kepantasan di mata kebiasaan masyarakat untuk menjaga harga
    diri atau munculnya cacian dan makian dari masyarakat, atau menimbulkan
    kemungkaran buruk lainnya di tengah masyarakat.

    Karena itu orang yang tidak mau membayar zakat, tidak menafkahi keluarga dan tidak mau membayar kewajiban agama lainnya maka dia disebut bahil. Sedangkan orang yang memberi nafkah namun tidak pantas karena tidak sesuai ukuran kekayaannya, atau kebiasaan masyarakat maka juga tidak disebut dermawan, karena tidak memenuhi kewajiban muruah/kepantasan. Dengan demikian ukuran kepantasan yang akan menjaga harga diri/kehormatan diri seseorang tidaklah sama antara seseorang dengan orang lainnya, juga antar kebiasaan masyarakat satu dengan lainnya, dan dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Tergantung situasi dan kondisi seseorang di tengah masyarakatnya. Demikian juga tidaklah disebut dermawan orang yang bisa memberi barang yang lebih baik, akan tapi memilihkan barang yang kualitasnya buruk, atau memberikan barang yang lebih baik tapi dengan hati yang terpaksa.

    d. Dalil Allah SWT. Menjelaskan Tentang Dermawan

    Artinya: 
    “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang
    miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi
    makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami
    tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”.
    (QS. Al-Insan: 8-9)

    Dalam ayat lain ;
    Artinya ; 
    Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk,
    akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang
    dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di
    jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu
    membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan
    apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi
    pahalanya dengan cukup, sedangkan kamu sedikit pun tidak akan dianiaya
    (dirugikan). (QS. Al-Baqarah: 272).

    Ayat ini menunjukkan bahwa;
    - Bersikap dermawan mesti harus ikhlas karena Allah SWT, atau karena
    dorongan untuk mendapatkan pahala kelak di akhirat.
    - Pada hakikatnya, harta yang dibelajakan untuk kebaikan kepada orang
    lain, sesungguhnya kembali kepada orang yang membelanjakannya. Tidak
    akan hilang justru berkembang. Bahkan pahalanya akan kekal di akhirat.
    - Membelanjakan harta untuk kebaikan dapat berupa; menunaikan zakat,
    shadaqah, infaq, member nafkah, hibah, menyantuni yatim-piatu,
    menfasilitasi kebaikan, dan lainya.

    e. Hikmah Dermawan

    Orang yang bersikap dermawan meiliki keuntungan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan meyakini keuntungan tersebut diharapkan kita terdorong bersikap dermawan dalam kehidupan sehari-hari. Bersikap dermawan yang didorong oleh keuntungan akhirat lebih baik dari pada dunia. 

    Adapun hikmah yang dapat diperoleh sesorang yang dermawan antara lain;

    - Menjadi orang yang dicintai oleh Allah SWT.
    - Dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan jauh dari neraka.
    - Akan mengantarkannya masuk surga. Rasulullah saw bersabda,
    “Kedermawanan adalah pohon yang kokoh di surga. Tidak akan masuksurga kecuali orang yang dermawan. Bakhil adalah pohon neraka. Tidak akan masuk neraka kecuali karena kebakhilannya.”
    - Allah akan memberikan pahala dan mengganti harta yang ia dermakan
    dengan yang lebih baik dan lebih banyak.
    - Menjadikannya sehat lahir dan batin.
    - Allah SWT. akan menutupi aib-aib-nya.

    Agar kita bisa menjadi orang yang dermawan maka kita harus meyakini hal-hal sebagai berikut;

    - Bahwa semua yang kita miliki adalah pemberian, titipan dan amanat Allah SWT kepada kita. Bukan milik kita secara hakiki.
    - Bahwa harta yang sesungguhnya adalah yang kekal hingga kelak bisa dinikmati di akhirat. Hal ini bisa dicapai hanya jika dibelanjakan dalam kerangka ibadah kepada Allah atau disedekahkan.
    - Menyadari bahwa balasan berupa Pahala Allah atas harta yang kita sedekahkan jauh lebih besar dan utama dari pada yang kita nikmati.
    - Meyakini bahwa hidup ini sementara, hidup yang hakiki dan kekal adalah kelak di akhirat. Kenikmatan harta bersipat relative, cepat dan sedikit. Sedangkan yang hakiki dan yang banyak adalah kelak di akhirat.
    - Mulailah mencoba melatih mengendalikan kesenangan nafsu dengan cara mendahulukan orang lain dalam kesenangan, kita mengalah.

    ,

    Bersyukur kepada Allah pada hakikatnya didasarkan atas pengakuan kita bahwasannya segala kenikmatan yang ada pada diri kita dan semua makhluk ciptaanNya adalah berasal dari Allah SWT. Karena itu kepadaNyalah semua kenikmatan itu harus digunakan. Yaitu dengan cara menggunakan semua karunia sesuai keinginan dan maksud tujuan Allah yang memberikan nikmat tersebut.

    a. Pengertian
    Menurut bahasa syukur adalah merupakan pujian bagi orang yang memberikan kebaikan, atas kebaikannya tersebut. Sepertia mengucapkan hamdalah setelah menikmati sesuatu, atau mengucapkan terima kasih kepada orang yang memberi sesuatu. Secara bahasa perbuatan seperti ini disebut syukur. Sedangkan pengertian bersyukur dalam agama adalah mempergunakan nikmat sesuai dengan maksud diberikannya nikmat itu oleh pemberinya.

    Pemberi semua nikmat adalah Allah SWT. Salah satu cara bersyukur adalah menunjukkan/ mengakui adanya nikmat Allah pada dirinya. Lalu menggunakan nikmat itu sesuai dengan kehendak Allah SWT. Semua yang kita miliki dan kita sandang adalah pemberian Allah. Allah memberikan nikmat tersebut tidak lain kecuali agar digunakan untuk beribadah kepada Allah. Hal ini sesuai al-Qur’an yang artinya “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali akhirnya agar beribadah kepadaKu”. Karena itu cara bersyukur setelah mengakui bahwa semua nikmat adalah dari Allah adalah menggunakan nikmat itu untuk jalan ibadah kepada Allah.

    Lawan dari syukur adalah kufur nikmat, yaitu tidak mau menyadari atau bahkan mengingkari bahwa nikmat yang ia dapatkan adalah dari Allah SWT dan menggunakan nikmat tersebut untuk durhaka/ maksiat kepada Allah.

    Nikmat Allah yang digunakan untuk maksiat pada dasarnya bukanlah nikmat, justru musibah, karena akan mengantarkan kepada kesengsaraan yang berkepanjangan baik di dunia maupun kelak di akhirat. Kita diberi tangan oleh Allah SWT, dengan tangan itu kita melakukan kebaikan untuk beribadah kepadaNya. Itu berarti mensyukuri nikmat tangan. Jika digunakan melakukan keburukan, maksiat atau kemungkaran lainnya maka berarti kita mengkufuri nikmat tangan tersebut. Kelak di akhirat akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Sedangkan orang yang hanya baca “alḥamdulillah” atas pemberian ketampanan atau kecantikan wajahnya, namun dengan ketampanan
    dan kecantikan itu ia melakukan maksiat dan kemungkaran maka orang seperti ini tidak disebut orang yang bersyukur, tetapi kufur nikmat, sekalipun secara bahasa disebut syukur.

    b. Dalil tentang syukur : 
    QS. Al-Baqarah/2: 152

    Artinya : karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula)
    kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
    (nikmat)-Ku. (QS. al-Baqarah 2: 152)

    Artinya: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang
    baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika
    benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (QS.al-Baqarah 2:172)

    c. Tanda-tanda orang yang bersyukur, adalah :
    Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disebutkan beberapa ciri orang yang besyukur sebagai berikut;

    1. Orang yang bersyukur tidak meremehkan apapun pemberian Allah SWT, dan tidak menyombongkan harta, benda, jabatan, kecantikan, ketampanan dan nikmat lainnya karena ia menyadari bahwa Allah-lah yang telah memberikan nikmat.
    2. Tidak minder atas kekurangan fisik.
    3. Dermawan dan tidak pelit atas apa yang ia punya, karena ia meyakini semua karunia adalah pemberian dan amant Allah SWT.
    4. Rajin beribadah dan takut bermaksiat.
    5. Berhati-hati dalam berprilaku menggunakan angauta badannya karena menimbangnya dengan aturan Allah SWT.
    6. Pandai berterima kasih kepada sesama-manusia dan sebagainya

    c. Cara mensyukuri nikmat Allah
    Jika kita merenung sejenak, maka kita akan bisa menyadari bahwa kita semua ini dikelilingi oleh nikmat yang tidak terbatas banyaknya. Dalam hitungan waktu ,setiap detik, setiap menit, dan seterusnya tercurah kenikmatan dari Allah tak terhenti yang berupa hidup, kesehatan, kecerdasan, panca indra, udara yang dihirup. Karena itu setiap saat kita dituntut bersyukur kepada Allah dengan mengakui dalam hati dan menggunakannya dalam kebaikan sesuai tuntunan syariat.

    Adapun cara mensyukuri nikmat adalah sebagai berikut:

    1. Mensyukuri nikmat Allah dengan melalui hati. Cara bersyukur kepadaAllah dengan hati ini maksudnya adalah dengan mengakui, mengimani dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan ini datangnya hanya dari Allah SWT semata.

    2. Mensyukuri nikmat Allah dengan melalui lisan kita. Caranya adalah dengan kita memperbanyak ucapan alhamdulillah (segala puji milik Allah) wasysyukru lillah (dan segala bentuk syukur juga milik Allah).

    3. Mensyukuri nikmat Allah dengan perbuatan kita. Yaitu perbuatan dalam bentuk ketaatan kita menjalankan segala apa yang diperintah dan menjauhi segala apa yang dilarangNya. PerintahNya termasuk segala hal yang yang berhubungan dalam rangka menunaikan perintah-perintah Allah, baik perintah itu yang bersifat wajib, maupun sunnah. Dan juga dengan meniatkan melakukan perkara-perkara mubah untuk mendukung, memperkuat dan memudahkan perkara yang wajib atau sunnat.

    ,

    Imam al-Ghazāli mendefinikan qalb, ruh, nafsu dan akal adalah istilah yang serupa tapi tidak sama. Tidak jarang orang memberi makna yang salah terhadap qalb, ruh, nafsu maupun akal. Qalb disebut juga hati. 

    Hati memiliki dua pengertian, yakni secara fisik dan secara spiritual/ruhani. 

    Pengertian hati secara fisik tidak ada bedanya antara manusia dengan hewan. Manusia punya hewan juga mempunyai. Makna hati secara spiritual inilah yang membedakan antara manusia dengan hewan. Dengan hati ini manusia dapat berfikir, mengenal, mengetahui dan dapat memiliki keinginan, sehingga layak menerima taklif Allah. Karena itulah manusia dituntut mengenal Allah, beribadah, dan beramal untuk menuju dekat dengan Allah.

    Bagaimana mengenali hati, nafsu dan akal, lalu bagaimana kedudukan masing-masing akan dibahas dalam penjelasan berikut. Sehingga kita bisa menggunakan semuanya dengan baik sesuai tuntunan syariat.

    RENUNGKAN FIRMAN ALLAH SWT.

    Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yangdengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
    dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
    buta, ialah hati yang di dalam dada. ( QS. Aِlِ-Ḥaj/22:46)


    A. PENGERTIAN NAFSU, AKAL DAN QALBU
    1. Nafsu
    a. Pengertian
    Kata nafsu bahasa berasal dari bahasa Arab, Nafsun (kata mufrad) jama’nya: anfus atau Nufusun dapat diartikkan ruh, nyawa, tubuh dari seseorang, darah, niat, orang dan kehendak atau keinginan (kecenderungan, dorongan) hati yg kuat.

    Secara istilah nafsu, adalah laṭhīfah/ sesuatu yang lembut pada diri seseorang yang mnimbulkan keinginan seseorang atau dorongan-dorongan hati yang kuat untuk memuaskan kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Misalnya keinginan makan, minum, disanjung dihargai dan sebagainya. Karena itu sering disebut dengan hawa nafsu.

    Adapun pengertian hawa nafsu adalah sesuatu yang disenangi oleh jiwa kita baik bersifat jasmani maupun nafsu yang bersifat maknawi. Nafsu yang bersifat jasmani yaitu sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan tubuh kita seperti makanan, minum, dan kebutuhan biologis lainnya. Nafsu yang bersifat maknawi yaitu, nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan rohani seperti, nafsu ingin diperhatikan orang lain, ingin dianggap sebagai orang yang paling penting, paling pinter, paling berperan, paling hebat, nafsu ingin disanjung dan lain-lain. Nafsu dalam pengertian seperti ini dalam kondisi tertentu dibutuhkan bagi kehidupan manusia, namun harus dikendalikan dengan baik agar tidak mengakibatkan pengaruh buruk / negatif bagi manusia. Nafsu yang telah terkendali akan
    menimbulkan ketenangan jiwa.

    Ketika kita menelaah ayat-ayat al-Quran, kita temukan ayat-ayat tersebut menunjukkan berbagai keadaan jiwa manusia dan menamainya dengan nama-nama yang berbeda yang mencerminkan tingkatan kondisi jiwa/nafsu , yaitu sebagai berikut:

    1) Nafsu ammārah.
    Diambil dari Ayat al-Qur’an Surat Yusuf: 53

    Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena
    Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali
    nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
    Pengampun lagi Maha penyanyang. (QS. Yusuf:53)

    Nafsu ini memerintahkan seseorang kepada keburukan, dan apabila ia mengajak kepada kebaikan, sesungguhnya di balik kebaikan itu menyimpan maksud yang buruk, maka hasil akhirnya juga buruk. Maka setiap keinginan nafsu harus dicurigai, tidak boleh begitu saja menerima.

    2) Nafsu Lawwāmah;
    Berdasarkan ayat al-Qur’an Surat al-Qiyāmah 2 :

    Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).
    (QS Al-Qiyāmah: 2)

    Yang dimaksud dengan an-nafs al-lawwāmah adalah jiwa orangMukmin yang mencelanya di dunia atas kemaksiatan, memandang berat ketaatan, dan memberinya manfaat pada Hari Kiamat. Ketika seseorang memerangi nafsu ini dan ditekan terus supaya nafsu ini ikut kepada suatu yang benar menurut syari’at ,maka seorang pun takkan mampu mengalahkan nafsu ini. Kemudian nafsu ini akan kembali ke pemiliknya dengan dicela-cela dirinya.

    3) Nafsu Muṭmainnah:
    Diambil dari Ayat al-Qur’an Surat Al-Fajr 27-28.

    27. Hai jiwa yang tenang. 28. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hatiyang puas lagi diridhai-Nya. (QS Al-Fajr 27-28).

    An-Nafs al-muṭhmainnah adalah yang senang kepada Tuhannya dan ridha terhadap apa yang diridhai-Nya. Disifatinya jiwa itu dengan rādḥiyah (ridha), karena ketenangannya kepada Tuhannya mendatangkan keridhaannya atas apa yang telah menjadi takdir dan qadha. Dengan demikian, bencana tidak membuatnya marah dan kemaksiatan tidak membuatnya berpaling. Apabila hamba ridha kepada Tuhannya maka Tuhan pun ridha kepadanya. Oleh karena itu, firman-Nya: raḍhiyah (ridha) diikuti dengan firman-Nya: marḍhiyyah (diridhai).

    b. Dalil naqli tentang nafsu
    Di samping ayat tersebut di atas, masih banyak ayat al-Quran sebagai dalil naqli yang menjelaskan tentang nafs, antara lain dengan menggunakan kata “Hawā”;

    Allah SWT. berfirman:
    50. Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) Ketahuilah bahwa
    Sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka).
    dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya
    dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesung- guhnya Allah
    tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS Al-Qaṣaṣ :50)

    2. Akal
    a. Pengertian
    Kata akal berasal dari kata dalam bahasa Arab, al-‘aql. Kata al-‘aql adalah maṣdar dari kata ‘aqala – ya’qilu – ‘aqlan yang maknanya adalah “fahima wa tadabbara” yang artinya “dia paham (tahu, mengerti) dan memikirkan (menimbang)”. Maka al-‘aql, sebagai maṣdar dari kata kerja ‘aqala, maknanya adalah kemampuan memahami dan memikirkan sesuatu. Sesuatu itu bisa ungkapan, penjelasan, fenomena, dan lain-lain, semua yang ditangkap oleh panca indra.

    Secara etimologis akal juga memiliki arti menahan (al-imsāk), ikatan (ar-ribāṭh), menahan (al-ḥajr), melarang (an-nahy) dan mencegah (al-man’u). 

    Dengan makna ini, maka yang dinaksud dengan orang berakal adalah orang yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya.

    Sedangkan, menurut Istilah akal adalah sesuatu yang halus (laṭifah) yang mempunyai daya kemampun untuk memperoleh, menyimpan dan mengeluarkan pengetahuan. Akal dengan demikian memiliki fungsi kognisi, yaitu untuk memperhatikan, memikirkan, menjelaskan, mempertimbangkan semua fenomena yang ditangkap oleh panca indra sehingga dapat berpendapat, berimajinasi, menilai dan sebagainya.

    b. Dalil Naqli tentang Akal
    Dikatakan di dalam Al-Qur’an:

    Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
    hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang
    dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu
    yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS.al-ḥajj/22:46)

    Dari ayat ini dijelaskan bahwa al-’aql itu ada di dalam al-qalb. Ia dapat memahami dan memikirkan (ya’qilu) dengan menggunakan al-qalb.

    37. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatanbagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. (QS. Qaf: 37)

    Dalam ayat ini qalb bermakna akal, dalam arti hati itulah yang dipakai untuk memikirkan suatu kejadian dan menjadikannya sebagai pelajaran dalam kehidupan manusia.

    3. Qalb
    a. Pengertian
    Qalb secara bahasa artinya membalik. Dalam konteks ini hati disebut qalb karena siafat hati yang selalu berubah-ubah dan membolak-balik keadaan.
    Kadang sedih, gembira, sebentar senang lalu benci dan seterusnya. Tidak ada jaminan hati selalu tetap. Allah lah yang membolak-balik hati manusia. Karena  tu jika dalam hati muncul keinginan yang baik maka segeralah laksanakan jangan ditunda-tunda sebelum keinginan itu berubah.

    Qalb juga disebut hati. Hati ada dua pengertian, yakni hati dalam arti daging dan hati dalam arti sesuatu yg halus, bersifat ketuhanan. Hati dalam arti daging adalah sebuah organ tubuh yg tersimpan dan terlindung tulang belulang yg berada didada disebelah kiri manusia. Pada daging hati terdapat
    lubang dan jaringan yg halus. Didalam lubang (rongga) terdapat pula darah hitam yg menjadi sumber roh. Makna lain dari hati ialah merupakan sesuatu yg halus, rabbaniyah (ketuhanan), ruhaniyah (kerohanian) dan terkait dengan hati jasmani (ditubuh kita).

    Hati halus merupakan hakikat manusia. Hati dalam pengertian sesuatu halus dan kerohanian inilah yg mampu mengenal diri sendiri dan yg menjadi subyek pembicaraan (khithab), disiksa, dicela dan dituntut oleh Allah. Kondisi hati memiliki kaitan dengan jasmani yg menentukan sifat serta watak manusia yg tampak secara lahiriah. Karena itu hati yang sedang marah, sedih, gembira dan sebagainya akan memancar ke luar dan tampak pada wajah atau wujud dalam bahasa tubuh seseorang.

    b. Dalil naqli tentang qalbu
    Surat Muhammad ayat 16:

    16. Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu orang-orang Berkata kepada orang yang Telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): “Apakah yang dikatakannya tadi?” mereka Itulah orang-orang yang dikunci mati hati
    mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.

    Dalam ayat ini hati dengan makna sesuatu yang mampu mempertimbangkan sehimgga bersikap menerima atau menolak suatu ajaran.

    Nabi Muhammad saw bersabda:

    Artinya : ”Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. jika
    gumpalan daging itu bagus maka akan baguslah seluruh anggota tubuh. Jika
    gumpalan daging itu rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuh”.
    (HR. Bukhari).

    Ayat dan hadiṣ ini menunjukkan bahwa kedudukan hati manusia sangat pentig. Ia menjadi sentral yang berfungsi mengendalikan prilaku lahir, penentu baik dan buruknya seseorang. Karena itu kelak di akhirat manusia yang selamat adalah yang yang menghadap Allah dengan hati dalam kondisi “
    saliim”. Yaitu hati yang selamat dari penyakit, bersih dan baik.

    B. MEMBANDINGKAN KEDUDUKAN NAFSU, AKAL DAN QALBU
    Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa nafsu, akal dan qalbmemiliki makna serupa, yaitu susuatu yang lembut/ laṭifah. Sesuatu yang tidakbisa diindra namun mempunyai daya pengaruh penentu baik-buruknya seseorang.Sehingga jika hati baik maka prilaku anggota lahirpun akan baik. Jika hati burukmaka prilaku anggota lahirpun buruk.

    Kedudukan antara hati dengan anggota badan ibarat seperti raja dengan rakyatnya. Akal ibarat menterinya, dan nafsu polisinya/ tentara. Jika polisi bertindak tidak mengikuti perintah raja dan pertimbangan menteri maka akan melahirkan perbuatan melenceng dari semestinya, dan semena-mena. 

    Demikian juga nafsu kesenangan jika dilepaskan dari petunjuk akal dan arahan hati maka akan melahirkan prilaku tercela dan merugikan. Nafsu diciptakan Allah SWT. bagi manusia untuk melangsungkan kehidupannya. Manusia diberi nafsu makan, minum, seksual dan sebagainya agar anggota badan bisa berfungsi dan sehat serta melangsungkan keturunan. Demikian juga diberi nafsu marah agar dapat menjaga kehidupan dan harga dirinya. Manusia tidak bisa lepas dari nafsu, karena dengan nafsu manusia bisa bertahan hidup, dan dengan menggunakan nafsu juga manusia beramal ibadah. Karena itu nafsu tidak boleh dihilangkan sama sekali, juga tidak boleh dibebaskan sebebas-bebasnya. Namun penggunaannya nafsu mesti harus sesuai dengan petunjuk akal dan
    pertimbangan hati. Nafsu tidak boleh menguasai seseorang.

    Dengan akal seseorang mampu mendapatkan ilmu pengetahuan, menemukan kebenaran dan kesalahan, membedakan kebaikan dan keburukan, menghitung kemasahatan dan kemadlaratan. Namun untuk menentukan tindakan benar dari yang salah, baik dari yang buruk, dan maslahah dari yang mafsadah maka perlu pertimbangan hati yang jernih. Karena itu tugas setiap orang adalah bagaimana menjaga hati selalu dalam kondisi jernih, bersih dan bebas dari kotoran. Orang seperti inilah yang beruntung dunia-akhirat, sebagaimana penjelasan surat al-Syamsy ayat 9-10:

    9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, 10. Dan
    Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.( QS. Asyamsy:9-10)

    Setiap perbuatan maksiat atau dosa seseorang akan berdampak bekas hitam
    pada hati. Jika kemaksiatan tersebut berlangasung terus-menerus maka hati benarbenar
    menjadi hitam pekat. Jika hati menjadi hitam maka tidak bisa menerima
    kebenaran, sulit mengendalikan hawa nafsu dan berat untuk melakukan kebajikan.

    Hati seperti inilah yang digambarkan Allah sebagai hati yang terkunci dan buta.

    14. Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan
    itu menutupi hati mereka.(QS. al-Muṭhaffifin: 14).

    Orang yang hanya menuruti kesenangan hawa nafsunya, akan serakah dan
    tidak akan merasa puas. Inilah sumber malapetaka. Ia akan mudah jatuh kepada
    kemaksiatan dan dosa. Sedangkan orang yang banyak dosa hatinya menjadi
    kotor, hitam dan tertutup. Hati yang tertutup akan tumpul tidak peka terhadap
    perasaan dan kebenaran, sehingga menyebabkan jauh dari Allah SWT. Orang
    yang berbuat dosa juga disebabkan kebodohan dan tidak mau menggunakan akal
    sehatnya. Orang yang tidak menggunakan akal sehatnya mudah sekali melakukan
    kesalahan dan dosa. Dengan demikian jelaslah hubungan antara nafsu, akal dan
    hati dalam kehidupan ini. Satu sama lain serupa dan saling terkait. Maka orang
    yang beruntung adalah mereka yang mampu mengendalikan nafsunya dengan akal
    yang sehat dan hati yang jernih. Sedangkan nafsu yang terkendali akan memancar
    ke angota badan sehingga membuahkan prilaku akhlakul karimah.

    D. PERILAKU ORANG YANG MEMILIKI NAFSU, AKAL DAN QALB
    Dengan memahami ajaran Islam mengenai nafsu. Akal dan hati, maka seharusnya kita memiliki sikap sebagai berikut:

    1. Dalam kehidupan sehari hari hendaknya tidak menuruti kesenangan nafsu, sebab kesenangan nafsu selalu berakhir penyesalan bahkan kehancuran, sekalipun kadang berwujud kebaikan.

    2. Selalu mengasah kecerdasan, menggunakan akal untuk mempertimbangkan semua hal yang akan kita lakukan. Pertimbangkan untung ruginya, baik buruknya, dan dampak maslahah madlorotnya.

    3. Setiap hari hendaknya ada tambahan ilmu yang masuk dalam akal kita terutama ilmu agama, yaitu ilmu yang berkaitan dengan aturan Allah dalam setiap yang akan kita lakukan. Kemudian memastikan apa yang kita laukan tidak keluar dari aturan Allah tersebut.

    4. Hendaknya mengasah ketajaman perasaan, dan kepekaan hati agar hati nurani kita berfunfsi dengan baik. Yaitu hati bisa mengendalikan pikiran dan nafsu dalam setiap tindakan.


Top