Perhiasan yang Kembali
Diposkan oleh MAN MAUK pada Jumat, 09 April 2010 |
Cerpen
Cerpen Taufiq Munir
Zahra nampak tergesa-gesa membawa sebuah kardus yang terbungkus kantong plastik hitam. Setelah sampai di rumahnya, didapatkannya Zaki, ustadz muda yang tak lain adalah suaminya, tengah khusyu dalam dzikirnya, dengan kedua kruk penyangga tubuh yang senantiasa berada di sampingnya.

“Assalamu’alaikum, Bang. Lihat, Zahra bawa apa?!!” tanya Zahra seraya mengulurkan benda tersebut.
Suara lembut istrinya dengan nafas yang masih tersengal-sengal membuatnya sedikit terkejut, sejenak ia memandang istrinya dengan penuh tanda tanya. Sementara Zahra hanya tersenyum kecil menanggapi riak muka suaminya yang kebingungan.
“Apa ini dik?” tanya suaminya.
“Buat Abang. Buka dong. Masak bengong”. Segera ia membuka bungkusan itu, dengan penuh rasa ingin tahu. “sepasang sendal kulit baru”. Ia ertegun sejenak. “Zahra lihat sandal abang sudah buruk sekali. Nah makanya Zahra belikan yang baru, biar nanti kalau shalat idul fitri abang pakai.. Coba dicocoki dulu, pas nggak?” kata istrinya dengan mata berbinar .Zahra menghampiri dan dengan sabar membantunya berdiri. Senyumannya tetap tersungging di bibir merahnya, yang tidak pernah tersentuh lipstik.
“Ah, Zahra istriku” gumamnya, “aku tahu kau lelah, tapi itu ak pernah kau tampakkan, bagaimana tidak, menjadi istriku kau melakukan pekerjaan double karena aku tidak dapat berbuat banyak di atas topangan kruk penyangga tubuh ini”. Ustadz muda itu merasa tercekat hatinya, masih sempat menyisihkan uang untuk membelikan sesuatu yang memang tengah ia butuhkan. Sendalnya memang sudah masanya untuk diganti. Bahkan sendal itu juga sudah dua kali disol, tapi keinginan untuk mengganti dengan yang baru ia singkirkan jauh-jauh. “Toh masih bisa diperbaiki”, pikirnya saat itu, karena masih banyak kebutuhan lain yang perlu diutamakan.
Timbul sedikit rasa sesal di hatinya. Seandainya ia tidak cacat, tak akan menjadikan istrinya dalam keadaan seperti ini, yaitu sebagai tulang punggung pencari nafkah dan tak akan hidup serba pas-pasan seperti saat ini. Astaghfirullah…langsung saja ia tepiskan pikiran yang mengandai-andai itu. Toh ia telah dikaruniai sebaik-baiknya perhiasan dunia, seorang istri yang sholehah.
Zahra, gadis cantik dan sholehah yang ia pilih tiga tahun yang lalu untuk mendampingi hidupnya, ketika ia masih sempurna. Tiba-tiba saja musibah datang di tengah kebahagiaan dua sejoli itu ketika berbulan madu di luar kota. Peristiwa kecelakaan lalu lintas itu menjadikan Zaki harus diamputasi. Bahkan malang bagi Zaki, kecelakaan itu menyerang sel syaraf reproduksinya sehingga tak bisa memberikan keturunan.
“Kau tidak menyesal kunikahi, dik?” tiba-tiba kalimat itu meluncur ari mulut Zaki, tanpa sengaja, karena mengingat penderitaan istrinya selama berada di sisinya. Ia, tidak berani menatap istrinya. Zahra langsung bersimpuh di kedua lutut suaminya.
“Bang, kenapa perkataan itu harus terulang kembali?” suara Zahra terdengar parau dan tersengal seperti menahan tangis. Memang semenjak musibah itu terjadi, kalimat itulah yang paling membuat Zahra bersedih. “Tidak dik, bukan itu maksud abang”, ia menelan ludah, tenggorokannya kering dan dadanya terasa sesak.
“Keadaanku membuatmu menderita” Zahra menumpahkan tangisnya di pangkuan suaminya. “bang Zaki, pilihan Allah yang terbaik buat Zahra, Zahra bersyukur dipilih Allah untuk menjadi istri abang. Demi Allah, Zahra tidak pernah merasa menderita karena abang,” Zahra berkata di sela isak tangisnya. Zaki, suaminya mengusap kepala Zahra yang terbungkus jilbab kaus warna putih. Ustadz muda itu pun tak mampu menaan tetesan air yang keluar dari matanya. Tiba-tiba Zahra berdiri, dengan tangan masing-masing memegang kruk. “Bang, pukullah Zahra dengan ini kalau merasa ada sikap Zahra yang tidak menyenangkan hati abang” serak dan parau hati Zahra, tetapi bibirnya menyungging sebuah senyum keikhlasan. Ada gemuruh di dada ustadz muda itu, tak kuasa mendengar ungkapan tulus istrinya.
Zaki merasa gelisah, sudah dua minggu Zahra berada di rumah sakit. Menurut hasil pemeriksaan dokter, istrinya mengidap penyakit anemia yang sudah cukup lama. Sejak pagi, ia tak beranjak dari sisi pembaringan istrinya, hatinya berdebar kencang tak menentu, manakala ia menatap wajah istrinya. Batinnya tersentuh haru, tampak istrinya tergolek lemah, matanya terpejam, tampak kurus dan pucat. “Zahra, istriku”gumamnya, “betapa besarnya ketabahan hatimu, sekian lama kau berjuang melawan penyakit yang diderita. Sementara aku, apalah ketabahanku menjalani cobaan Allah, dibandingkan denganmu”.
Lamat-lamat suara azan isya berkumandang. Tiba-tiba istrinya membuka mata, senyumnya mengembang begitu tampak, “jam berapa sekarang, Bang? tanya Zahra lirih. “Baru adzan Isya Bagaiman keadaanmu, dik”.
“Bang, sudah dua minggu, Zahra tidak bisa ikut berpuasa, rasanya sayang sekali!!”.
Ucapnya dengan nada setengah menyesal. Sekejap saja jari telunjuk Zaki, suaminya sudah berada di tengah bibirnya. Seakan mengisyaratkan jangan berkata seperti itu.
“Dik, apakah adik lupa dengan ayat maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Jangan terlalu dirisaukan, yang terpenting adik bisa sehat, dan kembali mengerjakan amal-amal ibadah”. Zahra hanya tersenyum sambil mendengarkan apa yang dituturkan suaminya. “Bang, Abang tidak sholat taraweh?”, tegur Zahra. “Jangan risaukan Zahra, ada suster yang menemani”.
***
Hanya tingal beberapa jama’ah yang masih berada di masjid yang terletak dekat rumah itu. Zaki merasakan sesuatu yang sejuk meresap dalam hatinya. Kegelisahan yang sejak beberapa hari lalu terasa mencekam, enggan menyingkir dari dalam dirinya kini hilang dan terasa ringan beban pikirannya. Dengan khidmat ia bersimpuh. Ia terus berdo’a khusyu untuk istrinya, tanpa terasa matanya telah basah, basah oleh kedamaian yang menguasai jiwanya.
Suasana pelataran masjid sudah sangat sudah sepi. Perlahan ia bangkit
“Oh krukku”, baru ia sadari kruknya raib dari sisinya. Sementara Edi dan seorang temannya sibuk mencari sebelah kruk yang belum ketemu, sementara pikirannya melayang pada istrinya yang sedang menunggu.
“Belum ketemu, dik Iwan?” tanyanya pada teman Edi yang baru masuk dari pintu sebelah kanan mesjid. “Ini bang. Sudah ditemukan di tempat wudlu wanita, anak-anak di sini memang nakal-nakal, bang”, ujarnya. Zaki menghela nafas, ya Rabb, haruskah ia marah karena dibuat mainan oleh anak kecil?
Ketika ia tiba di halaman rumah sakit, Ayah Zahra, mertuanya telah ada di sana, menyambutnya, lalu mengajaknya duduk di bangku panjang. Perasaannya tak enak, dari cara bicara dan sikap mertuanya, ia mempunyai firasat bahwa sesuatu telah terjadi pada istrinya. Dan... ternyata? Benar.
“Istrimu telah berpulang ke rahmatullah, nak” ujar mertuanya lirih nyaris tak terdengar. “Innalillahi wa innalillahi rajiun. Desisnya, dengan hati pepat. Ia tak kuasa lagi menahan jatuhnya air mata. Mertuanya merangkul pundaknya berusaha memberikan tambahan kekuatan.
Ia tercenung beberapa saat, kesedihannya perlahan tersingkir oleh rasa syukur dan bangga terhadap istrinya. Istrinya telah meninggalkan pelajaran yang dalam untuknya yaitu sebuah ketabahan dan kesabaran, yang tiada bandingannya ketika mengarungi hidup bersamanya. Sesaat telah kehilangan perhiasan dunia yang ia miliki.[]
Tidak ada komentar: