Kelas X

Kelas XI

TABZIR DAN MUBAZIR SAUDARA SYETAN

07 Nov 2016

Kelas XII

Prestasi Siswa

Long Live "Humanity Holic"!!!

Catatan Aktifisassalamu alaikum....Hai semua, pa kbr?Berhubung t...

  • 22 Aug 2010
  • 0

Cerpen Rahmita El Jannati

MENJARING MATAHARI

By. : Rahmita El Jannati


Tepuk riuh membahana mengisi aula seluar 30x40 meter itu, mengiringi langkah sosok kecil itu menuruni tangga panggung dan kembali ke tempat duduknya semula setelah menunjukan kepiawaiannya dengan percaya diri. Dadanya masih naik-turun, hela nafasnya terputus-putus, namun senyum tanpa suara terkembang begitu manis di bibirnya.

Tepuk tangan mulai mereda diselingi suitan penonton dari belakang. Kepala sekolah, para guru, Paman Gunawan, dan teman-teman menampakkan binar di mata mereka. Tak terkecuali Chyntia dan Helda, dua sosok yang sering mendapat julukan Primadona Sekolah yang selama ini mengobarkan bara semangat di hadapan Aisyah. Bola mata mereka terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Aisyah hanya tersenyum, seakan menyambut penuh kekaguman itu. Ia pikir, itu hanya sebuah ekspresi kekaguman mereka belaka.

Sejurus dengan berlangsungnya rest-time selama 30 menit, selama itu pula ada sesuatu yang berputar dalam benak Aisyah. Berputar seperti film dokumenter, dan sama persisnya dengan nyanyian melo wanita-wanita paruh baya yang mengalun lembut di aula.



***

“Saya lihat, nilai-nilai Bahasa Inggris kamu selalu bagus. Kamu juga aktif ketika berlangsungnya proses Belajar Mengajar dalam pelajaran saya.”

Mata hitam Pak Yudith begitu lekat menatap gadis yang duduk manis di depannya. Sebuah kerutan terukir di dahi gadis jilbaber tersebut. Ia masih menunggu kelanjutan kata yang akan keluar dari guru favoritnya. “Dan bicaramu juga fasih ketika tanya jawab dengan saya. Kamu …ngambil kursus Bahasa Inggris?”

“Oh… tidak, Pak,” jawabnya refleks.

“Lantas?”

Pertanyaan lelaki berkumis tipis itu membuat Aisyah menceritakan sosok yang kini mulai menua. Dia adalah Paman Gunawan, adik ibu yang hidup dari usaha dan kerja keras sehingga ia menjadi orang yang berhasil dalam karirnya sebagai seorang guru namun tetap berselimutkan kebersahajaan dan kesederhanaan yang menentramkan siapapun yang berada di dekatnya. Aisyah masih ingat, sejak kecil ia sering mendapat buku paket Bahasa Inggris SD bekas dari pamannya, karena kurikulum yang dipakai dalam buku itu telah berubah sehingga ia harus membeli buku baru untuk diajarkan kepada murid-muridnya. Waktu luang Paman digunakan bersama si kecil Aisyah yang sering main dan menginap di rumah yang baru selesai ia bangun. Melihat potensi Aisyah yang cepat tanggap dan kata-katanya yang cas cis cus ketika melafalkan bahasa Inggeris, semangatnya semakin terpompa untuk mengajarkan ilmu yang ia miliki pada putri berumur tujuh tahun tersebut. Aisyah pun semakin rakus melahap bahasa yang menurut sebagian orang disebut sebagai ‘bahasa munafik’, karena kata yang diucapkan tak sesuai dengan bacaannya. Dan semua itu masih berlangsung sampai sekarang. Aisyah masih sering mengunjungi rumah pamannya untuk sekedar bertanya walaupun soal hal-hal kecil yang tak dimengertinya. Aisyah tak peduli, meski badannya basah bermandikan peluh karena harus berjalan di bawah terik matahari yang membakar kulitnya yang halus menuju rumah ‘ayah keduanya’ itu. Ia kadang menelan air ludahnya sendiri untuk mengusir haus. Mendapatkan ilmu yang ia peroleh, wajah hangat dan ramah yang terpancar dari Paman Gunawan beserta istrinya yang tak pernah dikaruniai anak, seakan telah menjadi kucuran air mineral yang lebih dari cukup untuk menjadi penawar bagi dahaga bathin yang selalu menderanya.

“Aisyah, saya tertarik untuk memilihmu menjadi salah seorang peserta lomba. Kamu tinggal mencari bahan dan membuat naskahnya dari sekarang...”

“Maaf, Pak. Maksud Bapak lomba apa, ya?” Untuk kali ini wajah Aisyah tampak terkejut.

“Lho…kamu belum melihat di mading? Kan disitu tertempel... bla-bla-bla.”

Aisyah tak lagi menggubris ucapan Pak Yudith. Ia menepuk dahinya sendiri. Ah kemana saja aku ini? Sejak kapan pecinta Mading melupakan madingnya? Oh my God!

Wajar saja ia tak lagi sering mematung di depan Mading seperti biasa, karena sepekan ini sebagai sekertaris OSIS yang baru, ia begitu sibuk mengurus seluruh kegiatan OSIS terutama yang berhubungan dengan kegiatan Masa Orientasi Siswa Baru yang sebentar lagi akan digelar.

All right, Sir! I wanna go to see wallmagazine first,” Aisyah beranjak dari duduknya. Pak Yudith mengangguk sembari menahan tawa melihat tingkahnya. “Be a winner!” katanya, sesaat sebelum gadis itu menghilang dari balik daun pintu kantor Dewan Guru.

“Yap!” tawa tanpa suara tarukir di bibir Aisyah yang ranum. Matanya yang bak mata peri berkilatan di sela semangatnya yang tumpah. Siapapun akan terpana melihat rona pipi itu yang kini dipadu dengan gerakannya yang lincah menuju Mading. Matanya terus berbinar hingga selesai membaca pengumuman yang dimaksud.

***

Perasaan Aisyah tak menentu. Wajahnya sekusut gulungan benang yang pasrah dipermainkan cakar kucing. Ia tarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Aisyah duduk di atas motor yang melesat membelah jalan yang berkelok penuh lubang, tak mampu bicara. Begitu juga Sauki, lelaki yang membonceng dara manis itu, bungkam seribu bahasa. Padahal, biasanya ia selalu menampakkan keagresifan yang lahir secara spontan bila bertemu dengan Aisyah. Mungkin perasaannya yang meluap-luap tengah membuncah di hatinya. Bagaimana tidak, kembang pujaan yang tak mau mengerti perasaan hatinya itu, akhirnya mau juga menerima “jasa antar jemput” yang sering ditolaknya dengan halus. Sekarang ia buktikan perasaan terpendam itu dengan kesetiaan mengantar Aisyah dari satu perpustakaan ke perpustakaan lain untuk mencari bahan pidato dengan susah payah selama dua hari terakhir.

Aisyah bimbang. Ia kembali teringat pada kejadian singkat pada waktu istirahat tadi. Ketika ia hendak mengunjungi kantin sekolah, dari arah berlawanan melintas dua orang berambut lebat sepinggang dengan pita merah menyala. Mata mereka menatap nanar bak mata elang yang hendak mencabik kulit mangsanya.

“Ih, masih kelas satu sudah belagu banget…”

“Kok bisa-sisanya sih Pak Yudith milih dia buat ikut lomba….”

Emang dia bisa mengharumkan nama sekolah kita? Mending juga kita-kita kali ya. Ha-ha-ha!”

Sejuta kata yang menusuk itu belum hilang sampai mereka benar-benar berlalu. Nazma, sang sohib, menoleh ke wajah Aisyah. Ia fikir ada mendung di matanya. Namun air muka yang tenang melukiskan kesabaran dan senyum tipis penuh keikhlasan itu tampak jelas ia baca dibalik wajah innocent itu. Nazma tersenyum malu-malu.

“Sabar ya, Aisyah. Tuhan memang menciptakan segala sesuatu itu berpasangan. Termasuk kebaikan dan kejahatan.” Hasya yang baru selesai menyipitkan matanya dari lenggok tubuh dua perempuan yang berseragam sempit dan superketat itu, menepuk-nepuk pundak Aisyah. Di mata Hasya, dua primadona itu tak lebih seperti pecundang yang merusak citra mereka sendiri.

Namun berbeda di mata Aisyah. Dia merasa, mereka adalah sosok yang sudah mempunyai keinginan untuk unggul namun tidak diiringi dengan tekad dan usaha keras. Kemurkaan Hasya belum menguap. Ia mengeluarkan amarahnya lagi, dan... “ssstt” telunjuk Aisyah segera mendarat di bibir Hasya.

***

Jantung Aisyah berdegup kencang. Keringat menyembul dari pori-pori dahinya, padahal peluh yang keluar ketika perjalanan pulang berlatih dari rumah Paman Gunawan, belum juga mongering. Ia baru saja mendapat kabar mengenaskan bahwa ibu terpeleset di kamar mandi ketika mencuci pakaian di rumah Bu Tarmi. Dahi ibu berdarah membentur tembok.

“Ibu tidak apa-apa, Aisyah. Hanya berdarah sedikit saja, kok…” Ibu mencoba tersenyum, menghangatkan suasana yang menegang.

“Syukurlah, Bu. Aisyah ambilkan air hangat, ya?”. Ibu mengangguk pelan.

Setelah bapak berpulang setahun yang lalu, musibah demi musibah datang menghampiri. Ibu kini memikul sendiri berbagai masalah keluarga termasuk beban ekonomi yang terus menumpuk. Naluri keibuannya bangkit untuk menjadikan mereka tetap berdiri dalam deraan perih yang tiada pernah selesai. Ibu, dengan ketelatenannya tak pernah berhenti menyemangati anak-anaknya untuk tidak menyerah pada nasib, berlatih mandiri dan tidak bergantung pada siapapun kecuali pada Yang Maha Perkasa.

“Aisyah, jika hidumu ingin berubah kamu sendirilah yang harus merubahnya, nak, meskipun hidup kita penuh kesulitan. Karena kesulitan itu akan memperbaiki jiwa sebesar kehidupan yang dirusaknya, dan kesenangan akan merusak jiwa sebesar kehidupan yang diperbaikinya. Jadilah orang yang berpegang teguh pada prinsip karena ia akan menjadi manusia yang tak tergoyahkan oleh kesulitan itu.” Untaian kata mutiara ibu merayap masuk hingga ke setiap denyut nadi, menggema dalam relung hatinya. Ibu, kau pantas mendapat gelar Srikandi bagi kehidupan kami. Tunggulah sampai saatnya tiba.

Plass….

“Hebat, Aisyah! Sempurna!” Tangan Feri, salah satu wakil dari SMU Pattimura mendarat di pundak Aisyah. Ia berhasil memporakporandakan isi CD yang tengah berputar dibenaknya.. Gadis itu menoleh kearahnya. Mulut Feri kembali terbuka, namun suaranya tak jua keluar karena MC berwajah indo’ di atas panggung sana mempersilakan Feri sebagai peserta berikutnya untuk memperlihatkan kemampuannya yang ia tekuni selama ini sebagai orator ulung di sekolahnya.

Good luck, Feri!” ucap Aisyah sambil mengacungkan kepalan tangan kearahnya, memberi semangat. Kata-kata yang keluar dari mulut Feri begitu fasih, jernih dan teratur layaknya seorang warga Inggris yang tengah berpidato. Pengucapan huruf ‘R’ yang terkadang menjadi bahan ledekan teman-temannya, begitu membantu dalam Speech Contest kali ini.

Kini giliran Aisyah berdiri di podium. Mata Aisyah terpejam. Ia menunduk. Pikirannya melayang menyergap sosok ibu dan kedua diknya di rumah. Di pelupuk matanya terbayang hadiah yang akan diterima dari perlombaan pidato antar SMU se-Daerah Khusus Ibu Kota itu. “Ya Allah…,” desisnya “... biarkan aku memberi sepercik kebahagiaan di hati ibu.” Kata demi kata ia ucapkan. Apa yang terjadi?

Seakan terhipnotis, tak satupun penonton memalingkan muka, tak seorangpun audiens yang tak terbelalak untuk menjelajahi keindahan dan kelancaran pidato yang ia bawakan. Ternyata kemampuan Aisyah tidak jauh berbeda dari pemuda itu.

Waktu terus berjalan, sampai semua perwakilan dari SMU mereka masing-masing memperlihatkan kebolehannya di panggung yang seperti sebuah singgasana di hati setiap yang menginjaknya. Pengumuman pemenang diumumkan seminggu setelahnya, tepat ketika rapot akhir semester dibagikan. Pada momen itu, seseorang akan menjadikan ayah ibu mereka serasa meledak jantungnya karena di sana detik-detik kepala sekolah akan mengumumkan siswa-siswa yang berhasil meraih prestasi terbaik di kelas masing-masing, dan siswa yang mempu mendobrak tembok yang menghadang untuk menjadi seorang juara umum. Dan yang terakhir karena apakah kedua peserta perwakilan SMU Setia Budhi akan berhasil membobol kejuaraan Speech Contest tahun ini, atau tidak sama sekali. Aisyah, gadis jilbaber itu serta Kharisma dari kelas sebelas yang sama-sama ikut dalam ajang spektakuler tersebut hanya bisa berdoa.... dan menunggu.

***

Malam terus merangkak perlahan. Hanya detak jarum jam yang terdengar terus berputar, menyentuh angka-angkanya. Untaian kata-kata sastra yang sesak dengan makna itu memenuhi lembar-lembar kosong. Dengan gemulainya pulpen pink itu menari dan terus menari. Pemiliknya berharap lembar-lembar itu akan berubah menjadi lembar-lembar bergambar Soekarno. Dan dengan itu ia dapat segera memudahkan ibu untuk melunasi hutang-hutangnya.

“Ah, selesai juga akhirnya”. Aisyah menarik nafas panjang, dan secara perlahan ia hembuskan lagi. Ia amati lagi karya tulisnya, mencari kesalahan yang ia harap dapat menemukannya untuk segera ia betulkan. Namun nihil. Tulisannya sempurna, mengalir tanpa cacat. Ia lirik wajah Farah yang pulas dalam pangkuannya. Memandangnya dalam beberapa detik dan mengecup lembut adik bungsunya itu. Mata beningnya kembali menerawang. Di benaknya, bukan kasur yang harusnya ia tempati kini, namun tentang masa depan. Mampukah ia memasuki ruang kuliah dengan bangku berderet rapih seperti kebanyakan cerita kakak teman-temannya itu? Terbayang begitu anggunnya ia mengenakan baju serba putih dengan membawa stetoskop ketika ia mengobati pasien-pasienya. Ia tak ingin hanya berfantasi, rasa kantuk itu tak berani mengalahkan matanya.

Ia raih buku paket yang telah ia pinjam dari perpustakaan sekolah. Membukanya secara perlahan. Ia kerutkan dahi. Buku Biologi itu menemaninya di sepertiga malam ini sampai pada waktu nuraninya digedor-gedor oleh emosi jiwa untuk tunaikan shalat malam. Emosi cinta, taat dan kepasrahan kepada Allah, berbaur disana.

***

Tepuk riuh itu membahana lagi, ciptakan horizon yang membiru. Memang bukan di aula seperti kemarin, tapi di lapangan sekolah yang ditutupi oleh tenda agar hadirin yang datang tidak merasakan sengatan matahari. Rapot berwarna hijau itu dipegang lekat-lekat di tangannya. Berpuluh-puluh pasang mata menatap. Semua menyaksikan ia berdiri di atas panggung. Kakinya bergetar, dadanya berdebar. Apalagi setelah ia mendengar namanya sendiri dipanggil sebagai juara pertama Speech Contest se-Jakarta itu. Pak Ansyurullah, Kepala Sekolah SMU Setia Budhi berdiri kehadapannya sambil membawa Piagam di kedua tangannya. Beliau menyerahkan lembar eksklusif itu pada Aisyah. Dengan perasaan yang tak mampu dilukiskan, jemarinya menyambut piagam itu. Bu Dharma beranjak menuju panggung, menyerahkan tanda bukti bahwa ia berhak menerima hadiah sebesar lima juta rupiah. Hati Aisyah semakin berisik mengucap asma-Nya. Ia ingin terus mengingat Allah untuk meneguhkan hatinya menerima uang sebesar itu. Ia seakan tak percaya, namun nyatanya kini bukti itu ada di tangannya.

Gigi Aisyah bergemeletuk menahan kristal-kristal hangat yang turun dari ujung matanya. Hadirin dari pojok ke pojok dengan antusias memandanginya. Ia dapat menangkap semua sorot bangga dari bola mata mereka. Perlahan jabat tangan terjalin antara dia dan teman-temannya yang sama-sama peraih juara kelas. Nazma, sang juara umum ikut memeluknya dengan erat. Angka 1 yang berdiri gagah di kolom peringkat dalam raportnya, sebuah piagam bertanda tangan Gubernur, dan hadiah uang telah menjadikan dirinya paling bahagia di dunia ini.

Namun ada satu yang kurang: ibu. Sorot mata ibu yang ia impikan hadir di tempat ini. Aisyah mendesah. Ibu dengan berat hati tak bisa menghadiri peristiwa bersejarah ini. Tadi pagi Farah harus diperiksa intensif karena serangan demam berdarah.

“Tak apa ….” gumamnya, “aku akan mendapat sorot mata bangga itu di rumah.”

***

“Aisyah,” panggil seseorang dari belakang. Aisyah tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi bak deretan biji jagung ketika mata mereka beradu.

“Selamat, ya…” Dua gadis itu menyentuh jemari lentik Aisyah bergantian, kemudian menjadi sebuah genggaman yang erat.

“Terima kasih Kak Helda, Kak Chyntia….” Senyum Aisyah tak berhenti berkembang. Jilbab putihnya berkelebat.

“Teruskan prestasimu, Aisyah. Kau benar-benar hebat! So cool….” Chyntia mencubit pipi Aisyah, gemas. Bukan karena gregetan seperti waktu lalu, melainkan karena salut yang tak tertahankan pada adik kelasnya tersebut.

“Syah, kok mereka tiba-tiba bisa berubah menjadi seperti malaikat, sih?” tanya Nazma setelah mereka berlalu. Aisyah hanya tersenyum dikulum. Menyiratkan sejuta misteri yang tak mampu Nazma pecahkan.

“Aku yakin, suatu saat api itu akan mengalah pada sejuknya air….” Jawaban singkat itu dapat membuat semuanya menjadi terang. Nazma dapat membaca bahwa Aisyah telah berhasil meluluhkan hati mereka. Ia tak kuasa untuk tidak memeluk Aisyah. Kaulah primadona yang sesungguhnya….

“Aisyah, aku akan mendukungmu untuk maju pada perlombaan Speech Contest tingkat nasional bulan depan!” sambar Hasya. Nada suaranya bersemangat seperti Bung Tomo, tokoh legendaris yang mampu membakar semangat rakyat. “Bukankah begitu Pak?”

“Ya, benar. Persiapkan dirimu untuk berlomba ditingkat nasional, Aisyah!” Sahut Pak Yudith.

Oh,Tuhan! Nikmat dan karunia-Mu tak mampu tertampung walau disimpan pada luasnya bumi. Ya, aku harus terus berjuang. Aku harus terus berusaha unuk menjaring matahari yang kelak akan ku genggam!

Mauk, 2 Juli 2008


Tidak ada komentar:

Write a Comment

Pendapat Kami

Profil

Artikel

Inspiratif

Agama

Mapel